Tanda pada Sang Pembunuh (1)

"Kemudian TUHAN menaruh tanda pada Kain, supaya ia jangan dibunuh oleh barangsiapa pun yang bertemu dengan dia" (Kej. 4:15)

601

Sesama saudara mestinya saling mengasihi, apalagi jika itu saudara kandung. Ikatan darah antara kedua belah pihak seharusnya mengikat satu sama lain, serta mendorong masing-masing pihak untuk melihat yang lain sebagai bagian dari dirinya.

Namun, dalam kenyataan, keadaannya sering kali tidak sesederhana itu. Tidak sedikit kita jumpai keluarga yang terpecah-belah berhubung tiap-tiap anggotanya jauh dari kata rukun dan lebih suka mengedepankan kepentingan pribadi. Penyebabnya bisa macam-macam, mulai dari ketidakcocokan, perlakuan orangtua yang pilih kasih, iri hati melihat keberhasilan saudara sendiri, sampai perebutan warisan. Alih-alih saling mendukung, itu membuat antarsaudara malah jadi saling menyingkirkan.

Kain dan Habel adalah saudara kandung. Sayangnya, dalam Kej. 4:1-16, persaudaraan di antara mereka sama sekali tidak kita rasakan. Sedari awal sudah ditampakkan bahwa mereka itu dua saudara yang saling terpisah: Habel bekerja sebagai gembala kambing domba, sedangkan Kain seorang petani (ay. 2). Perbedaan tersebut diperburuk oleh sikap Kain yang iri hati terhadap Habel karena persembahan adiknya itu berkenan di hadapan Tuhan, sementara persembahannya tidak (ay. 3-5). Hati yang panas membuat Kain tak bisa dikendalikan lagi. Peringatan Tuhan (ay. 6-7) ia abaikan, dan sebagai puncaknya: Kain akhirnya membunuh Habel, adiknya sendiri.

Kisah seorang kakak yang membunuh adiknya sendiri

Alkitab mencatat tragedi Kain dan Habel sebagai kasus pembunuhan pertama yang terjadi dalam sejarah manusia. Peristiwa ini menunjukkan, setelah Adam dan Hawa melakukan dosa di taman Eden (Kej. 3:1-24), dosa makin lama makin berkembang dan manusia makin lama makin jauh meninggalkan Tuhan.[1] Hal ini nantinya membuat Tuhan menyesal karena telah menciptakan manusia (Kej. 6:6), hingga Ia pun memutuskan untuk memusnahkan mereka semua dengan air bah (Kej. 6:9-7:24).

Dosa Kain memang ada hubungannya dengan dosa Adam dan Hawa.[2] Hal ini tampak dalam kesejajaran Kej. 4:1-16 dengan perikop yang mendahuluinya, Kej. 3:1-24. Dalam kedua perikop dikisahkan situasi yang mendorong manusia berbuat dosa (Kej. 4:3-5; bdk. 3:1-6a), jatuhnya manusia dalam dosa (Kej. 4:8; bdk. 3:6b), pertanyaan dari Yang Ilahi dan tanggapan manusia (Kej. 4:9-10; bdk. 3:9-13), hukuman (Kej. 4:11-12; bdk. 3:14-19), keringanan hukuman (Kej. 4:13-15; bdk. 3:21), serta pengusiran atau pengasingan (Kej. 4:16; bdk. 3:23-24).

Mari kita berfokus pada kisah Kain dan Habel. Tokoh utama perikop ini jelas bukan Habel. Sebagai korban, pria malang ini hanya muncul sebentar tanpa pernah sekalipun mengucapkan barang sepatah kata, sampai-sampai ada yang berkata, “Habel seakan hanya muncul untuk dibunuh.”[3] Aksi pembunuhan Habel juga diceritakan ringkas dan seperlunya saja (Kej. 4:8). Secara keseluruhan, kisah dalam Kej. 4:1-16 bergerak dengan cepat, namun minim dalam detail. Akibatnya, kita menemukan banyak ketidakjelasan di dalamnya. Untuk apa Kain dan Habel mempersembahkan kurban?[4] Atas dasar apa Tuhan menerima persembahan Habel dan menolak persembahan Kain?[5] Bagaimana Kain mengetahui kalau persembahannya tidak diterima?[6]

Penyusun kisah ini rupanya kurang berminat menjelaskan itu semua secara terperinci. Yang lebih ia perhatikan adalah kejahatan Kain dan hukuman yang harus ditanggung sebagai akibat dari kejahatannya itu. Meski dilakukan secara diam-diam, kejahatan Kain memang akhirnya ketahuan juga. Darah Habel berteriak-teriak kepada Tuhan menuntut keadilan, dan tentunya dosa tak boleh dibiarkan berlalu begitu saja tanpa hukuman!

BERSAMBUNG

 

[1] Manusia pertama jatuh dalam dosa karena membangkang perintah Tuhan (bdk. Ul. 6:5). Kain ‘mengembangkan’ dosa itu dengan membunuh adiknya sendiri (bdk. Im. 19:18). Perhatikan pula kebohongan Kain ketika menanggapi pertanyaan Tuhan (Kej. 4:9). Ini lebih buruk dari tanggapan manusia pertama yang ‘hanya’ melemparkan kesalahan kepada pihak lain. Lih. Bergant, 2002:42-43.

[2] Kejahatan Kain merupakan konsekuensi atau lanjutan rusaknya manusia setelah manusia pertama jatuh dalam dosa. Lih. Sanjaya, 2003:95.

[3] Lenchak, 199x:53.

[4] Persembahan Kain dan Habel mengandaikan keberadaan tempat ibadah dengan tata ibadah yang teratur. Secara keseluruhan, kisah ini memang mengandaikan peradaban masyarakat yang sudah sangat maju. Mereka mengenal pertanian dan punya pekerjaan yang berbeda-beda. Sulit dipahami bahwa itu semua sudah ada pada zaman manusia pertama. Lih. Speiser, 1981:29-33.

[5] Dalam Alkitab, persembahan kurban muncul pertama kali dalam perikop ini. Tata cara mempersembahkan kurban bagi Tuhan tidak dijelaskan sebelumnya. Maka kita tidak dapat memastikan mengapa Tuhan menerima persembahan Habel dan menolak persembahan Kain. Tentang hal ini ada sejumlah pendapat: (a) Kain adalah sosok jahat yang mempersembahkan kurban tanpa iman (1Yoh. 3:12; Ibr. 11:4); (b) persembahan Habel diterima karena dalam Kitab Suci biasanya anak bungsu lebih dikasihi daripada anak sulung (bdk. Kej. 21:1-13; 25:19-34; 48:1-22); (c) faktor-faktor manusiawi tidak berperan di sini sebab Tuhan bebas dan berdaulat melakukan apapun yang dikehendaki-Nya; (d) kisah ini menampilkan konflik antara kaum petani (diwakili oleh Kain) dan gembala (diwakili oleh Habel), di mana penyusun lebih berpihak kepada para gembala.

[6] Alasan Tuhan menolak persembahan Kain tidak bisa dipastikan. Bagaimana Kain tahu kalau persembahannya ditolak juga tidak diketahui. Karena itu harus disimpulkan bahwa kisah ini tidak berfokus pada persembahan Kain dan Habel, melainkan pada kejahatan Kain dan apa yang terjadi sesudah ia melakukan kejahatan itu.