Tabah, Tangguh, dan Setia

Senin, 1 Januari 2018 – Hari Raya Santa Maria Bunda Allah

342

Lukas 2:16-21

Lalu mereka cepat-cepat berangkat dan menjumpai Maria dan Yusuf dan bayi itu, yang sedang berbaring di dalam palungan. Dan ketika mereka melihat-Nya, mereka memberitahukan apa yang telah dikatakan kepada mereka tentang Anak itu. Dan semua orang yang mendengarnya heran tentang apa yang dikatakan gembala-gembala itu kepada mereka. Tetapi Maria menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya. Maka kembalilah gembala-gembala itu sambil memuji dan memuliakan Allah karena segala sesuatu yang mereka dengar dan mereka lihat, semuanya sesuai dengan apa yang telah dikatakan kepada mereka. Dan ketika genap delapan hari dan Ia harus disunatkan, Ia diberi nama Yesus, yaitu nama yang disebut oleh malaikat sebelum Ia dikandung ibu-Nya.

***

Visualisasi menarik mengenai Maria saya dapatkan dari film The Passion of the Christ. Saya selalu suka membayangkan sosok Maria sebagaimana tergambar dalam film tersebut. Karakternya, relasinya dengan Yesus, dan ketangguhannya menyertai jalan salib Yesus ditampilkan dengan tegas. Film itu membantu saya untuk merenungkan sosok Maria sebagai perempuan yang kuat dan tangguh.

Salah satu adegan yang saya sukai adalah manakala Maria dengan tabah mengikuti dari jauh jalan salib putra-Nya. Sering saya bertanya-tanya, apakah ketabahan dan ketangguhan ini berhubungan erat dengan kebiasaan Maria untuk menyimpan segala perkara di hatinya? Injil hari ini bercerita juga soal itu. Lukas menuliskan, “Dan semua orang yang mendengarnya heran tentang apa yang dikatakan gembala-gembala itu. Tetapi Maria menyimpan segala perkara itu dalam hati dan merenungkannya.”

Jawaban “ya” yang diberikan Maria saat berjumpa dengan Malaikat Gabriel untuk mau menjadi bunda Yesus membawa konsekuensi yang tidak mudah. Kisah-kisah awal penyampaian kabar gembira seolah memberikan gambaran bahwa Maria sudah memperkirakan konsekuensi yang tidak mudah itu meski hatinya tetap bersukacita. Tanda-tandanya pun jelas, sebab kepada Gabriel, Maria berkata, “Terjadilah padaku menurut kehendak-Mu.”

Setelah itu dikisahkan masa-masa yang tidak mudah. Maria mengandung tanpa seorang suami, sehingga mestinya mengundang cibiran dari orang lain. Kemudian dikisahkan pula kesulitan mencari penginapan sebagai tempat melahirkan. Semua kesulitan itu dirasakan Maria sampai pada titik akhir hidup putra-Nya, yaitu salib. Kesulitan demi kesulitan inilah yang membentuk karakter dirinya.

Saya lebih suka menggambarkan karakter Maria seperti itu, persis seperti yang digambarkan oleh Mel Gibson – sutradara The Passion of the Christ – daripada seperti ibu-ibu zaman now yang suka berswafoto dan rajin meng-upload-nya di media sosial. Tidak mudah bagi saya membayangkan karakter Maria sebagai sosok yang selalu gegap gempita dan tertawa riang, seperti ibu-ibu yang riang gembira, tersenyum lepas ketika bisa berfoto bersama dengan grup senamnya. Kebiasaan Maria untuk “menyimpan segala perkara di dalam hati dan merenungkannya” itulah yang menurut hemat saya menjadi benang merahnya.

Kalau hari ini kita merayakan Hari Raya Santa Maria Bunda Allah, kita bukan sedang merayakan kesuksesan Maria sebagai seorang ibu, bukan pula kesuksesannya mendidik Yesus menjadi anak yang berhasil dan berguna bagi dunia. Hari raya ini justru mengantar kita untuk merenungkan Maria sebagai sosok yang tangguh dan setia mendampingi sang Juru Selamat sampai pada titik akhir. Sekali lagi, semua itu tergambar dalam kebiasaan Maria yang suka menyimpan segala perkara di dalam hati dan merenungkannya.

Bukankah kesulitan demi kesulitan juga sering menghinggapi kita? Mampukah kita meneladan Maria untuk setia menanggung itu semua dan bersikap tabah? Bersediakah kita menyimpan berbagai perkara itu di dalam hati kita, serta sering-sering merenungkannya? Semoga kesetiaan dalam menanggung kesulitan demi kesulitan membawa kita kepada perjumpaan dengan Yesus. Perjumpaan inilah yang membawa sukacita sejati kepada kita, sukacita yang selalu dirasakan oleh orang-orang sederhana ketika berjumpa dengan Yesus.