Apa Kata Kitab Suci tentang Korupsi (7)

156

Mengapa orang beragama juga melakukan korupsi?

Korupsi menggoda hati banyak orang karena memungkinkan mereka mendapatkan keuntungan secara mudah dan cepat. Umat beragama tidak terkecuali. Sebenarnya ini bukan hal baru karena sudah terjadi sejak dahulu. Lihat saja orang Farisi yang sampai disebut sebagai “hamba uang” (Luk. 16:14), atau imam-imam kepala yang tanpa rasa bersalah menyuap Yudas untuk menangkap Yesus (Mat. 26:15). Meskipun demikian, tentu saja situasi ini sangat disayangkan, sebab umat beragama, apalagi para pemukanya, memiliki tuntunan dan pegangan yang semestinya menjaga mereka dari kecenderungan berbuat jahat.

Korupsi sampai hati dilakukan oleh seorang penganut agama karena yang bersangkutan tidak meresapi nilai-nilai yang seharusnya menjadi konsekuensi dari imannya itu. Perintah-perintah Tuhan diketahui, tetapi enggan dilaksanakan. Ajaran untuk menjadi orang baik dipahami, tetapi tidak dipraktikkan. Yudas lagi-lagi menjadi contoh yang baik tentang hal ini. Yudas tentunya orang istimewa, sebab Yesus sampai memilih dia menjadi murid-Nya. Sebagai anggota kelompok dua belas murid, Yudas sehari-hari selalu dekat dengan Yesus. Ia mengiringi ke mana pun gurunya itu pergi, dan mendengarkan secara langsung semua ajaran-Nya. Sayang, apa yang didengar tidak dilaksanakan oleh Yudas. Secara fisik ia dekat dengan Yesus, tetapi hatinya tidak demikian. Buktinya, ia terus saja melakukan kejahatan, dan akhirnya mengkhianati sang guru. Belajar dari situ, untuk mengukur kedalaman iman kita, baiklah ungkapan yang selalu terdengar sesudah bacaan Injl ini dijadikan patokan: “Berbahagialah orang yang mendengarkan sabda Tuhan dan tekun melaksanakannya” (bdk. Luk. 11:28).

Penyebab lain, banyak orang mengira bahwa beragama itu hanya menyangkut berdoa dan merayakan upacara di rumah ibadah, sebab Tuhan ada di sana, menetap di dalam bangunan nan indah dengan tembok-temboknya yang kokoh. Karena itu, ketika memasuki rumah Tuhan, orang tampil sebagai pribadi yang suci. Upacara demi upacara ia ikuti dengan khusyuk, namun semuanya berhenti hanya sampai di situ. Selesai bertemu dengan Tuhan, situasi kembali normal, dalam arti yang bersangkutan kembali kepada kejahatannya. Bukankah ironis kalau dalam perayaan ibadat ada koruptor yang memasukkan uang hasil korupsi ke dalam kotak persembahan, lalu sesudah itu terus saja menjalankan aksinya seperti biasa?

Para nabi mengecam ibadat yang meriah tetapi kosong, yakni ibadat yang tidak berdampak positif bagi kehidupan sehari-hari. Yesaya misalnya bernubuat, “Jangan lagi membawa persembahanmu yang tidak sungguh, sebab baunya adalah kejijikan bagi-Ku. Kalau kamu merayakan bulan baru dan sabat atau mengadakan pertemuan-pertemuan, Aku tidak tahan melihatnya, karena perayaanmu itu penuh kejahatan” (Yes. 1:13). Bukan persembahan yang diharapkan Tuhan dari umat, melainkan agar umat berbalik dari dosa-dosa mereka. “Basuhlah, bersihkanlah dirimu, jauhkanlah perbuatan-perbuatanmu yang jahat dari depan mata-Ku. Berhentilah berbuat jahat, belajarlah berbuat baik; usahakanlah keadilan, kendalikanlah orang kejam; belalah hak anak-anak yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda!” (Yes. 1:16-17).

(Bersambung)