Merindukan Kesembuhan

Minggu, 11 Februari 2018 – Hari Minggu Biasa VI

185

Markus 1:40-45

Seorang yang sakit kusta datang kepada Yesus, dan sambil berlutut di hadapan-Nya ia memohon bantuan-Nya, katanya: “Kalau Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku.” Maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan, lalu Ia mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu dan berkata kepadanya: “Aku mau, jadilah engkau tahir.” Seketika itu juga lenyaplah penyakit kusta orang itu, dan ia menjadi tahir. Segera Ia menyuruh orang itu pergi dengan peringatan keras: “Ingatlah, janganlah engkau memberitahukan apa-apa tentang hal ini kepada siapa pun, tetapi pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam dan persembahkanlah untuk pentahiranmu persembahan, yang diperintahkan oleh Musa, sebagai bukti bagi mereka.” Tetapi orang itu pergi memberitakan peristiwa itu dan menyebarkannya kemana-mana, sehingga Yesus tidak dapat lagi terang-terangan masuk ke dalam kota. Ia tinggal di luar di tempat-tempat yang sepi; namun orang terus juga datang kepada-Nya dari segala penjuru.

***

Kisah tentang penyembuhan orang kusta yang kita dengar hari ini adalah pernyataan iman jemaat perdana akan kuasa Yesus dan kehadiran Kerajaan Allah dalam diri-Nya. Dengan menyembuhkan penyakit kusta, Yesus menyingkirkan kenajisan dari diri seseorang, bahkan langsung ke sumbernya, yaitu dosa. Masyarakat waktu itu memang memandang penyandang kusta sebagai orang berdosa yang sedang dihukum Allah. Menyembuhkannya berarti menyingkirkan dosa dari dirinya dan membuatnya kembali tahir. Kuasa ini hanya dimiliki oleh Allah. Karena itulah tindakan penyembuhan ini sekaligus menyingkapkan identitas Yesus sebagai Mesias yang datang dari Allah.

Sikap hati-hati Yesus dalam membuat mukjizat kali ini perlu dimengerti sebagai usaha-Nya untuk setia terhadap misi utama-Nya, yaitu mewartakan Kerajaan Allah. Mukjizat di satu sisi menguntungkan tugas perutusan Yesus, sebab tanpa disuruh, massa dalam jumlah besar akan mengerumuni-Nya untuk melihat sesuatu yang luar biasa. Namun, sisi negatif mukjizat ternyata cukup besar juga. Orang jadi terpaku pada mukjizat. Mereka tidak banyak peduli pada isi pewartaan Yesus.

Merenungkan kisah ini membuat saya teringat pada pengalaman seorang teman. Teman saya ini memiliki seorang kekasih yang sangat cantik. Saya lihat keduanya memang lumayan serasi. Kalau sedang berjalan bersama, mata mereka tampak berbinar-binar. Senyum mereka begitu lebar seolah dunia ini milik mereka berdua saja.

Sayang, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Bagaikan kisah drama di televisi, nasib malang mendadak menghampiri pasangan yang penuh cinta ini. Ketika mereka hendak melangkah ke jenjang yang lebih serius, sang kekasih terkena penyakit kanker, dan menurut dokter, hidupnya tidak lama lagi akan berakhir.

Mereka tentu saja terkejut mendengar kabar buruk tersebut. Perasaan sedih, bingung, marah, dan kecewa campur aduk dalam benak mereka saat itu. Bagaimanapun mereka berdua berkomitmen untuk tetap bersama. Sejak saat itu, selain rutin pergi ke dokter, mereka tampak rajin bertemu dengan imam untuk meminta peneguhan, sekaligus melepas beban dan bertukar pikiran. Setiap pagi saya lihat mereka juga mengikuti perayaan Ekaristi dengan satu permohonan utama: kiranya Tuhan sudi memberi kesembuhan. “Kalau Tuhan mau, Tuhan pasti bisa menyembuhkan dia,” kata teman saya penuh harap. Sayang, memenuhi perkiraan dokter, tidak berapa lama kemudian kekasihnya itu meninggal.

Kerinduan si orang kusta kiranya menjadi kerinduan semua orang, terutama orang-orang yang tengah menderita sakit berat dan tiada lagi harapan untuk sembuh. Setiap kali kita sakit, kita memanjatkan doa dengan sungguh-sungguh. Tempat-tempat ziarah kita kunjungi, kalau perlu yang ada di luar negeri. Dengan sepenuh hati kita kepada Tuhan agar memberikan kesembuhan. Kalau Tuhan mengabulkannya, tentu saja kita sangat bersyukur.

Pertanyaannya, bagaimana kalau tidak? Bagaimana kalau penyakit itu tetap setia menemani kita, dan bahkan membuat keadaan kita semakin memburuk? Apakah hal itu membuat kita kecewa terhadap Tuhan dan meragukan kebaikan hati-Nya?