Kemarahan

Jumat, 23 Februari 2018 – Hari Biasa Pekan I Prapaskah

217

Matius 5:20-26

“Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga.

Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala.

Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu.

Segeralah berdamai dengan lawanmu selama engkau bersama-sama dengan dia di tengah jalan, supaya lawanmu itu jangan menyerahkan engkau kepada hakim dan hakim itu menyerahkan engkau kepada pembantunya dan engkau dilemparkan ke dalam penjara. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya engkau tidak akan keluar dari sana, sebelum engkau membayar hutangmu sampai lunas.”

***

Dalam Injil hari ini Yesus berbicara tiga cara untuk membunuh orang tanpa benar-benar membunuh tubuh mereka, yakni (a) marah kepada saudara, (b) memaki “kafir” kepada orang lain, dan (c) mengatai orang lain “jahil.” Tampaknya Yesus di sini membuat tingkat keseriusan berbagai jenis “pembunuhan dalam hati.” Kemarahan membuat kita pantas dihukum; memanggil seseorang sebagai “kafir” membuat kita pantas mendapat hukuman yang lebih besar; dan memperlakukan seseorang sebagai “jahil” (dalam arti idiot atau bodoh) akan membuat kita dilemparkan ke dalam api neraka.

Apa itu kemarahan? Kemarahan adalah salah satu emosi manusia yang paling mendasar. Ini adalah perasaan melawan seseorang atau sesuatu atau diri sendiri. Semua orang bisa marah. Tubuh kita bisa memberi tahu kita kapan kita marah. Menurut banyak psikolog, ada tahapan tanda-tanda fisiologis kemarahan. Mula-mula ada stimulus yang memicu emosi. Ketegangan atau stres lalu mulai terbentuk, menyusul kemudian adrenalin dilepaskan untuk meningkatkan ketegangan. Akibatnya, irama nafas jadi meningkat, detak jantung semakin cepat, dan tekanan darah menjadi tinggi. Pada akhirnya, tubuh dan pikiran memberi respons, baik itu dalam bentuk menahan kemarahan ataupun melepaskannya.

Beberapa psikolog juga mengatakan bahwa kemarahan yang dikelola secara tidak tepat kemungkinan akan berdampak negatif terhadap kesehatan fisik dan mental kita. Kemarahan yang ditekan tanpa saluran bisa menimbulkan sejumlah masalah, seperti sakit kepala, gangguan saluran pencernaan, gangguan pernapasan, gangguan emosional, dan bahkan kecenderungan untuk bunuh diri.

Bagaimana kita bisa mengatasi kemarahan kita secara tepat? Ada beberapa saran. Pertama, sampaikanlah kemarahan kita kepada Tuhan. Jangan berpura-pura tidak marah. Jujurlah kepada diri sendiri dan kepada Tuhan. Dia mengetahui segalanya. Kedua, belajarlah bersikap tenang ketika marah. Kata-kata yang diucapkan ketika kita sedang marah biasanya nanti disesali. Karena itu, luangkan waktu sejenak untuk memastikan bahwa kita memiliki alasan yang tepat untuk marah.

Ketiga, ubah pandangan kita yang tidak tepat tentang Tuhan. Kemarahan kita sebenarnya berakar bukan pada perasaan kita, tetapi pada gagasan kita tentang Tuhan. Keempat, mengakui kesalahan dan bertobat. Ini berarti menyesali semua kerusakan yang ditimbulkan oleh kemarahan kita terhadap Tuhan dan terhadap orang lain. Mintalah sakramen pengampunan dosa dan datangilah orang-orang yang telah kita rugikan dengan kemarahan kita untuk meminta maaf.

Kelima, kemarahan perlu dikelola secara baru. Marilah kita menyerahkan diri kita kepada Kristus dan firman-Nya. Di bawah pengaruh-Nya, kemarahan kita akan semakin terkelola dengan baik. Kita semakin mampu untuk mengendalikan diri kita.