Beriman dalam Keterpurukan

Senin, 26 Februari 2018 – Hari Biasa Pekan II Prapaskah

365

Daniel 9:4-10

Maka aku memohon kepada TUHAN, Allahku, dan mengaku dosaku, demikian: “Ah Tuhan, Allah yang maha besar dan dahsyat, yang memegang Perjanjian dan kasih setia terhadap mereka yang mengasihi Engkau serta berpegang pada perintah-Mu! Kami telah berbuat dosa dan salah, kami telah berlaku fasik dan telah memberontak, kami telah menyimpang dari perintah dan peraturan-Mu, dan kami tidak taat kepada hamba-hamba-Mu, para nabi, yang telah berbicara atas nama-Mu kepada raja-raja kami, kepada pemimpin-pemimpin kami, kepada bapa-bapa kami dan kepada segenap rakyat negeri. Ya Tuhan, Engkaulah yang benar, tetapi patutlah kami malu seperti pada hari ini, kami orang-orang Yehuda, penduduk kota Yerusalem dan segenap orang Israel, mereka yang dekat dan mereka yang jauh, di segala negeri kemana Engkau telah membuang mereka oleh karena mereka berlaku murtad terhadap Engkau. Ya TUHAN, kami, raja-raja kami, pemimpin-pemimpin kami dan bapa-bapa kami patutlah malu, sebab kami telah berbuat dosa terhadap Engkau. Pada Tuhan, Allah kami, ada kesayangan dan keampunan, walaupun kami telah memberontak terhadap Dia, dan tidak mendengarkan suara TUHAN, Allah kami, yang menyuruh kami hidup menurut hukum yang telah diberikan-Nya kepada kami dengan perantaraan para nabi, hamba-hamba-Nya.”

***

Membaca kitab Daniel sungguh menarik, dan dengan itu mungkin kita bisa “membaca” hidup kita sendiri, termasuk dengan segala jatuh bangun kita dalam beriman dan dalam kesetiaan kepada Allah.

Kitab Daniel berkisah tentang satu masa dalam sejarah bangsa Israel, khususnya ketika mereka dibuang dan hancur berantakan di bawah kekuasaan para penguasa asing. Kisah-kisah yang diceritakan dalam kitab Daniel memberi kita informasi bahwa bangsa Israel pada saat itu sedang dipimpin oleh Yoyakim ketika diserang oleh Nebukadnezar, Raja Babel. Karena Israel telah meninggalkan Tuhan, Allah mereka, mereka pun menjadi lemah dan mudah ditaklukkan. Akhirnya mereka mengalami pembuangan ke Babel.

Jadi, sebagai latar belakang perlu kita ketahui bahwa bangsa Israel saat itu sedang bersusah hati. Mereka sedang dihukum karena ketidaktaatan terhadap Allah. Sebagaimana orang yang sedang dalam masa penghukuman, mereka akhirnya menyadari bahwa penyebab dari kesengsaraan mereka tidak lain adalah dosa mereka sendiri. Mereka menjauhi Allah yang selama ini menjadi kekuatan nenek moyang mereka.

Hidup yang jauh dari Allah membuat pola hidup masyarakat Israel menjadi berantakan. Mereka tidak mengenal belas kasih dan keadilan. Sebaliknya, yang ada hanyalah kekejaman dan kekejian, ketidakadilan dan penindasan, di mana mereka sendiri berlaku sewenang-wenang terhadap saudara sebangsa. Biasanya orang kecil, orang miskin, mereka yang sakit dan disingkirkan selalu yang pertama-tama menjadi korban. Persis inilah yang menjadi isi dari kritik para nabi.

Dalam perikop yang kita dengar hari ini, kita bisa melihat bahwa dalam keterpurukan Israel muncullah sebuah kesadaran dan pengakuan kembali akan Allah dan segala kedahsyatan-Nya untuk mereka. Bangsa Israel mengakui kesalahan dan dosa mereka, ketegaran hati mereka dan ketidakpedulian mereka mendengar peringatan-peringatan para nabi. Ada sebuah pengakuan bahwa Allahlah yang benar. Kasih-Nya dan perjanjian dengan-Nya telah mereka khianati.

Selain pengakuan akan dosa mereka dan akan kebesaran Allah, ternyata umat Israel yang ada di pembuangan masih sangat mengharapkan pengampunan dan pemulihan kondisi mereka. Masih ada sebuah kepercayaan bahwa Allah tetap mengasihi bangsa ini meski mereka sudah jatuh dan hampir binasa oleh kesalahan mereka sendiri. Inilah kabar sukacita yang bisa kita petik dan kita teladani dalam masa pertobatan ini.