Mengutamakan Kasih Persaudaraan

Jumat, 2 Maret 2018 – Hari Biasa Pekan II Prapaskah

461

Kejadian 37:3-4, 12-13a, 17b-28

Israel lebih mengasihi Yusuf dari semua anaknya yang lain, sebab Yusuf itulah anaknya yang lahir pada masa tuanya; dan ia menyuruh membuat jubah yang maha indah bagi dia. Setelah dilihat oleh saudara-saudaranya, bahwa ayahnya lebih mengasihi Yusuf dari semua saudaranya, maka bencilah mereka itu kepadanya dan tidak mau menyapanya dengan ramah.

Pada suatu kali pergilah saudara-saudaranya menggembalakan kambing domba ayahnya dekat Sikhem. Lalu Israel berkata kepada Yusuf: “Bukankah saudara-saudaramu menggembalakan kambing domba dekat Sikhem? Marilah engkau kusuruh kepada mereka.”

Maka Yusuf menyusul saudara-saudaranya itu dan didapatinyalah mereka di Dotan.

Dari jauh ia telah kelihatan kepada mereka. Tetapi sebelum ia dekat pada mereka, mereka telah bermufakat mencari daya upaya untuk membunuhnya. Kata mereka seorang kepada yang lain: “Lihat, tukang mimpi kita itu datang! Sekarang, marilah kita bunuh dia dan kita lemparkan ke dalam salah satu sumur ini, lalu kita katakan: seekor binatang buas telah menerkamnya. Dan kita akan lihat nanti, bagaimana jadinya mimpinya itu!” Ketika Ruben mendengar hal ini, ia ingin melepaskan Yusuf dari tangan mereka, sebab itu katanya: “Janganlah kita bunuh dia!” Lagi kata Ruben kepada mereka: “Janganlah tumpahkan darah, lemparkanlah dia ke dalam sumur yang ada di padang gurun ini, tetapi janganlah apa-apakan dia” — maksudnya hendak melepaskan Yusuf dari tangan mereka dan membawanya kembali kepada ayahnya.

Baru saja Yusuf sampai kepada saudara-saudaranya, mereka pun menanggalkan jubah Yusuf, jubah maha indah yang dipakainya itu. Dan mereka membawa dia dan melemparkan dia ke dalam sumur. Sumur itu kosong, tidak berair. Kemudian duduklah mereka untuk makan. Ketika mereka mengangkat muka, kelihatanlah kepada mereka suatu kafilah orang Ismael datang dari Gilead dengan untanya yang membawa damar, balsam dan damar ladan, dalam perjalanannya mengangkut barang-barang itu ke Mesir. Lalu kata Yehuda kepada saudara-saudaranya itu: “Apakah untungnya kalau kita membunuh adik kita itu dan menyembunyikan darahnya? Marilah kita jual dia kepada orang Ismael ini, tetapi janganlah kita apa-apakan dia, karena ia saudara kita, darah daging kita.” Dan saudara-saudaranya mendengarkan perkataannya itu. Ketika ada saudagar-saudagar Midian lewat, Yusuf diangkat ke atas dari dalam sumur itu, kemudian dijual kepada orang Ismael itu dengan harga dua puluh syikal perak. Lalu Yusuf dibawa mereka ke Mesir.

***

Kisah Yusuf dan saudara-saudaranya yang muncul dalam bacaan pertama hari ini tentunya kita ketahui dengan baik, bahkan sejak kita ada di Sekolah Minggu atau Sekolah Bina Iman. Renungan ini bermaksud mengajak kita sekalian untuk melihat duduk perkaranya secara jeli dan mendalam, yakni dengan masuk dalam karakter Yusuf.

Bukan tanpa alasan Yusuf dibenci oleh saudara-saudaranya. Ia sangat dikasihi oleh Yakub, ayahnya. Yusuf adalah anak Yakub dari Rahel, istri yang sangat dicintainya, “cinta dari masa mudanya.” Yakub menanti sangat lama untuk bisa memperoleh anak dari Rahel. Rahel harus melewati masa-masa penuh air mata dan pengorbanan yang tidaklah sederhana sampai akhirnya Allah berkenan membuka kandungannya. Sudah sejak awal terjadi persaingan antara Rahel dan Lea, saudarinya, untuk memperoleh cinta Yakub.

Tidak mengherankan bila Yusuf kemudian dikasihi oleh Yakub lebih dari anak-anaknya yang lain. Namun, di sini perlu digarisbawahi bahwa kebencian saudara-saudara Yusuf sebenarnya sama sekali bukan salah Yusuf. Bukan salahnya bila ia lebih dicintai, lebih dikasihi, dan lebih diperhatikan oleh ayahnya, bukan? Dalam hatinya Yusuf mungkin ingin berteriak, “Apa salahku?”

Yang menarik, selama diperlakukan secara jahat oleh saudara-saudaranya, Yusuf tidak bersuara sama sekali. Dia pasrah, mungkin karena ingat bahwa ia anak yang paling kecil pada waktu itu. Ketika hendak dibunuh oleh saudara-saudaranya sendiri, dibuang seperti sampah, Yusuf tetap tidak bersuara. Dia memendam semuanya dalam hatinya.

Kelak, Yusuf justru sukses di Mesir, sementara saudara-saudaranya datang mengemis-ngemis kepadanya minta dikasihani. Pada saat itu, hal yang luar biasa terjadi, hal yang perlu kita semua teladani. Yusuf membuktikan bahwa baginya kasih persaudaraan lebih penting daripada mengingat-ingat kepahitan yang terjadi dalam hidupnya.