Memberi Lebih Daik Daripada Menerima

Minggu, 22 April 2018 – Hari Minggu Paskah IV

261

Yohanes 10:11-18

“Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya; sedangkan seorang upahan yang bukan gembala, dan yang bukan pemilik domba-domba itu sendiri, ketika melihat serigala datang, meninggalkan domba-domba itu lalu lari, sehingga serigala itu menerkam dan mencerai-beraikan domba-domba itu. Ia lari karena ia seorang upahan dan tidak memperhatikan domba-domba itu. Akulah gembala yang baik dan Aku mengenal domba-domba-Ku dan domba-domba-Ku mengenal Aku sama seperti Bapa mengenal Aku dan Aku mengenal Bapa, dan Aku memberikan nyawa-Ku bagi domba-domba-Ku. Ada lagi pada-Ku domba-domba lain, yang bukan dari kandang ini; domba-domba itu harus Kutuntun juga dan mereka akan mendengarkan suara-Ku dan mereka akan menjadi satu kawanan dengan satu gembala. Bapa mengasihi Aku, oleh karena Aku memberikan nyawa-Ku untuk menerimanya kembali. Tidak seorang pun mengambilnya dari pada-Ku, melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri. Aku berkuasa memberikannya dan berkuasa mengambilnya kembali. Inilah tugas yang Kuterima dari Bapa-Ku.”

***

Kata orang, lebih baik memberi daripada menerima. Lebih baik menelungkupkan telapak tangan (gerakan memberi) daripada membuka telapak tangan (gerakan menerima).

Suatu kali, seminari tempat saya bekerja pernah mengundang seorang biksu yang tinggal di Vihara Mendut untuk memberikan input bagi para seminaris. Ada seminaris yang kemudian menuliskan ini dalam refleksinya: “Bahagia itu ketika kita dapat memberi, bukan menerima. Bahagia itu ketika kita dapat melepas bukan mengikat. Semakin kita berhasrat dan bernafsu untuk mengikat segala macam hal, hidup kita tidak akan bahagia.” Yang lain menulis refleksi yang kurang lebih sama. Rupanya “spritualitas melepas” yang disampaikan oleh biksu tersebut sangat berkesan bagi mereka.

Kardinal Fulton Sheen menulis buku yang baik sekali mengenai visi imamat untuk zaman ini. Judulnya: Imam Bukan Miliknya Sendiri. Meskipun beliau hidup pada masa lampau, namun visinya mengenai hidup imamat sangat cocok di zaman ini, yaitu kurban. Pernahkah para imam menghayati diri mereka sebagai kurban seperti Yesus Kristus? Ketika merayakan kurban misa di pagi hari, pernahkah para imam memohon rahmat agar mereka mampu mengurbankan diri bagi umat dalam pelayanan mereka sepanjang hari itu? Berbeda dengan Perjanjian Lama, kata Kardinal Fulton, di dalam Perjanjian Baru, Yesus Kristus adalah imam sekaligus kurban.

Bacaan Injil pada hari Minggu Panggilan ini berkisah mengenai visi imamat yang ditawarkan Yesus, sang Gembala yang Baik. Kriterianya jelas. Disebutkan oleh Yohanes dalam Injilnya bahwa gembala yang baik memberikan nyawanya kepada domba-dombanya. Sedangkan seorang upahan yang bukan gembala, demikian lanjut Yohanes, akan meninggalkan domba-dombanya ketika serigala datang.

Kita semua adalah imam dalam arti umum karena sakramen baptis yang kita terima. Karena itu, baik sekali dalam kesempatan Minggu Panggilan ini kita merenungkan: dimensi kurban (pemberian diri) apa yang kita hayati dalam karya perutusan dan panggilan kita masing-masing?