Meneruskan Iman Rasuli

Sabtu, 19 Mei 2018 – Hari Biasa Pekan VII Paskah

243

Yohanes 21:20-25

Ketika Petrus berpaling, ia melihat bahwa murid yang dikasihi Yesus sedang mengikuti mereka, yaitu murid yang pada waktu mereka sedang makan bersama duduk dekat Yesus dan yang berkata: “Tuhan, siapakah dia yang akan menyerahkan Engkau?” Ketika Petrus melihat murid itu, ia berkata kepada Yesus: “Tuhan, apakah yang akan terjadi dengan dia ini?” Jawab Yesus: “Jikalau Aku menghendaki, supaya ia tinggal hidup sampai Aku datang, itu bukan urusanmu. Tetapi engkau: ikutlah Aku.” Maka tersebarlah kabar di antara saudara-saudara itu, bahwa murid itu tidak akan mati. Tetapi Yesus tidak mengatakan kepada Petrus, bahwa murid itu tidak akan mati, melainkan: “Jikalau Aku menghendaki supaya ia tinggal hidup sampai Aku datang, itu bukan urusanmu.”

Dialah murid, yang memberi kesaksian tentang semuanya ini dan yang telah menuliskannya dan kita tahu, bahwa kesaksiannya itu benar. Masih banyak hal-hal lain lagi yang diperbuat oleh Yesus, tetapi jikalau semuanya itu harus dituliskan satu per satu, maka agaknya dunia ini tidak dapat memuat semua kitab yang harus ditulis itu.

***

Para rasul dipanggil untuk menjadi saksi. Saksi adalah orang yang melihat sesuatu dan bersumpah mengenai apa yang dilihatnya itu. Namun, menurut Kardinal Carlo Maria Martini, ada sesuatu yang lebih dalam dari itu. Menurutnya, saksi adalah orang yang melibatkan diri secara pribadi dalam apa yang sudah dilihatnya dan dipahaminya.

Para rasul bersaksi mengenai pribadi Yesus, kuasa-Nya, dan kehidupan-Nya. Mereka juga bersaksi mengenai kemampuan Yesus dalam membangun suatu bangsa manusia yang baru, dalam membangun hubungan-hubungan baru yang didasarkan atas pelayanan, kemurahan hati, dan persahabatan. Kesaksian para rasul pertama-tama selalu tentang pribadi Yesus, bukan tentang rancangan, gagasan, atau sesuatu yang harus dibangun.

Dalam Injil Yohanes, para rasul yang bersaksi tentang pribadi Yesus dianugerahi Roh Kudus oleh-Nya. Yesus mengaitkan dua hal itu – penyertaan Roh Kudus dan perutusan – menjadi satu. Yang satu tidak bisa ada tanpa yang lain. Itu artinya, sebagai utusan, Gereja harus memperbanyak ruang gerak bagi Roh Kudus.

Roh Kudus dalam Perjanjian Baru dilukiskan sebagai kekuatan atau kuasa yang memberikan sukacita, damai, ketenangan, kasih, dan kepercayaan. Kardinal Martini menekankan, apabila kita merasa bahwa salah satu dari hal-hal yang disebut di atas tidak ada pada kita, itu berarti kita harus menyegarkan lagi kontak dengan kuasa Roh Kudus. Sebab, tanpa kuasa-Nya, kata-kata yang kita wartakan tetap saja kata-kata yang mati dan tidak dapat menopang hidup kita sendiri.

Marilah berdoa: “Tuhan Yesus Kristus, Roh Allah turun atas diri-Mu dan tinggal pada-Mu. Biarlah Roh yang sama tinggal dalam diri kami, dan mencurahkan anugerah rahmat-Nya kepada kami. Amin.”