Keteguhan Iman: Keraguan Maria dan Zakharia (6)  

301

Zakharia seorang imam, Maria seorang perempuan desa

Dari perbandingan kisah Zakharia dan Maria di atas, kita melihat adanya kemiripan. Namun, ada pula perbedaan kecil yang mau menonjolkan kelebihan tokoh yang satu dari yang lain. Dengan melihat kemiripan dan perbedaan itu kiranya sedikit demi sedikit kita diantar pada sebuah jawaban atas pertanyaan mengapa Zakharia dihukum dan Maria diberkati.

Di sini kita akan mengikuti penjelasan yang cukup menyakinkan dari Kockhalumkal.[1] Ia menyelidiki empat hal pokok yang termuat dalam kisah Zakharia. Pertama, kedudukan Zakharia: “Pada zaman Herodes, raja Yudea, ada seorang imam yang bernama Zakharia dari rombongan Abia. Istrinya juga berasal dari keturunan Harun, namanya Elisabet” (Luk. 1:5). Kedua, kewajiban Zakharia: “Pada suatu kali, waktu tiba giliran kelompoknya, Zakharia melakukan tugas keimaman di hadapan Tuhan. Sebab ketika diundi, sebagaimana lazimnya, untuk menentukan imam yang bertugas, dialah yang ditunjuk untuk masuk ke dalam Bait Suci dan membakar dupa di situ” (Luk. 1:8-9). Ketiga, waktu penampakan malaikat: “Pada waktu pembakaran dupa, seluruh umat berkumpul di luar dan bersembahyang. Lalu tampaklah kepada Zakharia seorang malaikat Tuhan berdiri di sebelah kanan mezbah pembakaran dupa” (Luk. 1: 10-11). Keempat, kalimat kunci: “Sebab doamu telah dikabulkan. Elisabet, istrimu, akan melahirkan seorang anak laki-laki bagimu dan haruslah engkau menamai dia Yohanes” (Luk. 1:13)

Dari keempat hal pokok di atas, kita mengetahui bahwa Zakharia termasuk golongan imam Abia. Kedudukan istimewa sebagai seorang imam menuntutnya untuk beriman secara kokoh kepada Allah. Beriman sungguh-sungguh kepada Allah merupakan kewajiban terpenting seorang imam. Seorang imam harus mencintai keyakinan imannya dengan segala ajarannya secara sungguh-sungguh. Sebagai seorang imam, ia bertanggung jawab untuk mewartakan sabda Allah, mempersembahkan kurban, dan berdoa (Ul. 33:8-11). Keragu-raguan iman seorang imam merupakan sesuatu yang sulit ditoleransi. Kekurangan manusiawi lainnya masih dapat ditoleransi, tetapi keragu-raguan iman tidak dapat dimaafkan.

(Bersambung)

 

[1]  Peter Kochalumkal, “Unwavering Faith: The Mission Of The Called (Zechariah’s Submission To God)”, 299-307.