Menjadi Kudus Melalui Hidup Perkawinan

Jumat, 25 Mei 2018 – Hari Biasa Pekan VII

254

Markus 10:1-12

Dari situ Yesus berangkat ke daerah Yudea dan ke daerah seberang sungai Yordan dan di situ pun orang banyak datang mengerumuni Dia; dan seperti biasa Ia mengajar mereka pula. Maka datanglah orang-orang Farisi, dan untuk mencobai Yesus mereka bertanya kepada-Nya: “Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan istrinya?” Tetapi jawab-Nya kepada mereka: “Apa perintah Musa kepada kamu?” Jawab mereka: “Musa memberi izin untuk menceraikannya dengan membuat surat cerai.” Lalu kata Yesus kepada mereka: “Justru karena ketegaran hatimulah maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu. Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”

Ketika mereka sudah di rumah, murid-murid itu bertanya pula kepada Yesus tentang hal itu. Lalu kata-Nya kepada mereka: “Barangsiapa menceraikan istrinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinaan terhadap istrinya itu. Dan jika si istri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zina.”

***

Hari ini kita diajak untuk merenungkan hidup perkawinan. Suatu ketika, orang Farisi yang hadir dalam pengajaran Yesus mengajukan pertanyaan, bukan karena ketidaktahuan, tetapi untuk mencobai Yesus. Mereka menanyakan apakah seorang suami diizinkan menceraikan istrinya. Alih-alih menjawab pertanyaan, Yesus malah menanyakan lagi apa yang diperintahkan Musa tentang hal itu. Mereka menjawab bahwa Musa mengizinkannya, yakni dengan membuat surat cerai. Yesus kemudian berkata kepada mereka, “Justru karena ketegaran hatimulah maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu.”

Dengan itu, Yesus mau mengatakan bahwa Allah sebenarnya tidak menginginkan perceraian. Musa mengeluarkan aturan tentang perceraian sebagai suatu kelonggaran karena ia berhadapan dengan ketegaran hati manusia. Aturan yang dikeluarkan Musa adalah upaya untuk mengendalikan dan mengatur perceraian, bukan untuk mendorong terjadinya perceraian.

Cita-cita Allah berkaitan dengan perkawinan manusia ditegaskan Yesus dengan mengutip kitab Kejadian: “Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”

Allah pada dasarnya tidak menghendaki perceraian. Perkawinan adalah bersatunya perempuan dan laki-laki dalam segala hal, sehingga mereka dapat berjalan bersama dan beriringan seumur hidup untuk meraih kebahagiaan bersama, untuk saling melayani dan mencapai kekudusan bersama.

Kesetiaan dalam perkawinan membutuhkan kesabaran dan ketekunan. Diperlukan kesabaran dalam menghadapi pasangan ketika dia tidak dapat memberikan yang terbaik. Diperlukan pula ketekunan dari kedua belah pihak agar perkawinan tetap utuh, terutama ketika menghadapi banyak tantangan. Hal lain yang dibutuhkan dalam perkawinan adalah belas kasih, kemauan untuk saling mendukung, juga kesediaan untuk saling mengampuni.

Alangkah indahnya hidup perkawinan, apabila setiap pasangan melaksanakan apa yang diserukan oleh Paus Fransiskus. Ia berkata, “Setiap hari hendaknya kita mengucapkan satu sama lain ‘terima kasih untuk apa yang kamu lakukan’ dan ‘maaf untuk kesalahan yang telah saya perbuat’.” Semoga dengan itu segenap pasangan suami istri semakin setia dalam panggilan hidup mereka dan semakin diberkati dalam cinta.