Sang Penabur, Benih, dan Kita

Kamis, 27 Juli 2018 – Hari Biasa Pekan XVI

316

Matius 13:18-23

“Karena itu, dengarlah arti perumpamaan penabur itu. Kepada setiap orang yang mendengar firman tentang Kerajaan Sorga, tetapi tidak mengertinya, datanglah si jahat dan merampas yang ditaburkan dalam hati orang itu; itulah benih yang ditaburkan di pinggir jalan. Benih yang ditaburkan di tanah yang berbatu-batu ialah orang yang mendengar firman itu dan segera menerimanya dengan gembira. Tetapi ia tidak berakar dan tahan sebentar saja. Apabila datang penindasan atau penganiayaan karena firman itu, orang itu pun segera murtad. Yang ditaburkan di tengah semak duri ialah orang yang mendengar firman itu, lalu kekuatiran dunia ini dan tipu daya kekayaan menghimpit firman itu sehingga tidak berbuah. Yang ditaburkan di tanah yang baik ialah orang yang mendengar firman itu dan mengerti, dan karena itu ia berbuah, ada yang seratus kali lipat, ada yang enam puluh kali lipat, ada yang tiga puluh kali lipat.”

***

Dari atas sebuah perahu, Yesus melanjutkan pengajaran-Nya. Kali ini Ia menjelaskan dan mengartikan sendiri perumpamaan-Nya tentang penabur. Sebenarnya Yesus di sini lebih banyak berbicara tentang benih dan kualitas tanah tempat benih itu ditaburkan.

Empat jenis dan kualitas tanah menunjuk pada empat jenis orang. Dengan ini Matius menekankan kualitas tanggapan masing-masing orang terhadap pemberitaan Kabar Gembira. Iman pertama-tama merupakan tanggapan pribadi manusia terhadap Tuhan yang juga menyapa manusia secara personal.

Ada tiga jenis tanggapan pribadi yang tidak memadai alias kurang berkualitas. Pertama, tanggapan tanpa pengertian. “Mengerti” di sini tidak terutama soal otak dan intelektual, tetapi melibatkan seluruh perasaan dan kehendak. Sabda Tuhan sering diterima secara akal budi saja, tetapi sama sekali tidak menggerakkan perasaan dan tidak melahirkan komitmen untuk berbuah, yakni bertobat, berkelakuan dan bertindak sesuai dengan pesan sabda Tuhan itu. Sabda yang ditaburkan dalam hati orang seperti itu dengan mudah dirampas oleh Iblis. Kualitas orang tersebut bagaikan tanah di pinggiran jalan setapak di tengah ladang. Benih sabda yang jatuh di sana tidak terjaga dan mudah hilang.

Kedua, tanggapan dangkal. Orang tersebut mendengar sabda Tuhan, tetapi tidak sampai mengakarkannya. Sabda Tuhan tidak sungguh masuk dan meresapi seluruh hidupnya. Ada antusiasme di awal, tetapi lalu pudar di hadapan penderitaan dan cobaan. Kualitas imannya tipis bagaikan tanah bebatuan. Imannya cepat layu, secepat ia tumbuh. Itu artinya dia beriman secara massal, yakni oportunis dan ikut arus saja.

Ketiga, tanggapan terhambat. Seseorang memang menerima sabda Tuhan, tetapi sayang imannya tidak dapat berkembang. Itu terjadi karena orang tersebut bagaikan tanah yang juga menumbuhkan semak berduri. Ia memiliki kecemasan yang berlebihan tentang kebutuhan hidupnya dan senantiasa mengandalkan harta kekayaannya. Sikap ini menjadi tanda bahwa orang ini tidak beriman, sebab ia tidak mengandalkan Tuhan.

Dari pendengar sabda yang sejati diharapkan tanggapan yang berbuah. Artinya, kita diharapkan menerima sabda Tuhan dengan segenap hati dan segenap budi. Kita diharapkan menjadi tanah yang subur. Firman yang kita dengar kita mengerti, dalam arti kita pahami dan kita terima dengan baik. Kita pun berkomitmen menjalankan tuntutan yang muncul dari firman-firman itu. Kalau kita bersikap demikian, pada akhirnya kita pasti akan berbuah.

Saudara-saudari sekalian, mari kita bertobat dan bertingkah laku sesuai dengan kehendak Allah.  Semoga kelak kita menerima upah, hiburan, dan kemurahan sejati dari Bapa di surga secara berlimpah ruah.