Pertobatan Yehezkiel

Selasa, 14 Agustus 2018 – Peringatan Wajib Santo Maksimilianus Maria Kolbe

890

Yehezkiel 2:8 – 3:4

“Dan engkau, anak manusia, dengarlah apa yang Kufirmankan kepadamu; janganlah memberontak seperti kaum pemberontak ini. Ngangakanlah mulutmu dan makanlah apa yang Kuberikan kepadamu.” Aku melihat, sesungguhnya ada tangan yang terulur kepadaku, dan sungguh, dipegang-Nya sebuah gulungan kitab, lalu dibentangkan-Nya di hadapanku. Gulungan kitab itu ditulisi timbal balik dan di sana tertulis nyanyian-nyanyian ratapan, keluh kesah dan rintihan.

Firman-Nya kepadaku: “Hai anak manusia, makanlah apa yang engkau lihat di sini; makanlah gulungan kitab ini dan pergilah, berbicaralah kepada kaum Israel.” Maka kubukalah mulutku dan diberikan-Nya gulungan kitab itu kumakan. Lalu firman-Nya kepadaku: “Hai anak manusia, makanlah gulungan kitab yang Kuberikan ini kepadamu dan isilah perutmu dengan itu.” Lalu aku memakannya dan rasanya manis seperti madu dalam mulutku.

Firman-Nya kepadaku: “Hai anak manusia, mari, pergilah dan temuilah kaum Israel dan sampaikanlah perkataan-perkataan-Ku kepada mereka.”

***

Ketika memanggil dan mengutus Yehezkiel, Allah menyapanya dengan sebutan “anak manusia.” Sapaan ini menegaskan jarak di antara mereka: yang satu Allah, yang lain manusia; yang satu baka, yang lain makhluk fana. Yehezkiel lalu diberi tugas perutusan, yaitu mewartakan firman Allah kepada orang Israel yang disebut sebagai “kaum pemberontak.” Penyebutan ini menggarisbawahi dosa yang dilakukan orang Israel sehingga mereka sekarang tercerai-berai di negeri asing: mereka telah memberontak melawan Allah, raja mereka. Di sisi lain, dengan ini juga diisyaratkan bahwa tugas Yehezkiel tidaklah mudah.

Karena itu, sebagaimana lazim dalam kisah panggilan seorang nabi, Allah memberi peneguhan kepada Yehezkiel agar tidak takut menghadapi berbagai macam penolakan. Firman Allah harus terus ia wartakan, tidak peduli orang menerimanya atau tidak. Yehezkiel harus taat kepada Allah melebihi segala sesuatu, yang dilambangkan dalam perintah untuk membuka mulut dan memakan gulungan kitab. Perintah ini tampaknya membuat Yehezkiel ragu, sehingga Allah perlu mengulanginya beberapa kali. Pada akhirnya kemauan untuk taat mengalahkan keraguan dalam benak sang nabi. Ia pun memakan gulungan itu dan menikmati rasa manis yang luar biasa.

Yang dirasakan Yehezkiel berbanding terbalik dengan isi gulungan kitab yang memuat nyanyian-nyanyian ratapan, keluh kesah, dan rintihan. Kesedihan sedemikian akan dirasakan orang Israel, sebab mereka tidak mau mendengarkan firman Allah. Berbeda halnya dengan Yehezkiel. Ia menaaati perintah Allah dengan sepenuh hati. Menelan gulungan kitab merupakan lambang firman ilahi yang meresap dan menyatu dengan dirinya. Demikianlah orang yang menaati perintah Allah akan mengalami hal-hal yang baik, sementara yang memberontak hidupnya akan penuh dengan kepahitan.

Selain menandai awal karya kenabian Yehezkiel, penglihatan tentang gulungan kitab ternyata memiliki makna lain yang sifatnya lebih personal, yaitu sebagai ungkapan pertobatan. Sebagaimana dialami oleh sesama orang Yehuda yang berada di pembuangan, hidup Yehezkiel di Babel penuh dengan ketidakpastian. Sungguh berbeda kalau dibandingkan dengan situasi di masa lalu ketika ia berada di Yerusalem. Sebagai seorang imam muda yang bertugas di Bait Allah, dulu ia sangat dihormati dan masuk dalam kelompok kaum terpandang. Pada saat itu, satu-satunya “duri” yang mengganggu kenyamanan hidup imam-imam Bait Allah adalah seorang nabi bernama Yeremia.

Yeremia dengan berani menubuatkan kehancuran Bait Allah. Akibatnya, nubuat Yeremia dianggap sebagai penistaan agama dan memancing kemarahan para imam. Dengan geram, mereka menangkap sang nabi dan mengancamnya dengan hukuman mati. Beberapa tahun kemudian, Yeremia mengutus Barukh untuk membacakan gulungan kitab di Bait Allah. Gulungan kitab ini kembali menimbulkan kehebohan karena berisi firman Allah tentang kehancuran Yehuda.

Sebagai imam muda yang bertugas di Bait Allah, Yehezkiel kiranya hadir ketika Barukh membacakan nubuat Yeremia di tempat itu. Pada saat itu, ia berada di pihak orang-orang yang melawan Yeremia. Ia turut mencemooh perkataan dan pekerjaan-pekerjaan Yeremia, dan dengan satu dan lain cara turut menganiaya sang nabi. Sikap Yehezkiel kini berubah seratus delapan puluh derajat. Gulungan kitab yang dahulu ia tolak, sekarang ia telan. Serbuan pasukan Babel dan pembuangan sebagian penduduk Yerusalem, termasuk ia sendiri, menyadarkan dirinya akan kebenaran nubuat Yeremia. Yeremia sungguh-sungguh seorang nabi!

Demikianlah dengan memakan gulungan kitab, Yehezkiel menyatakan pertobatannya. Ia yang dahulu menganiaya, sekarang mengikuti jejak, bahkan meneruskan pewartaan, orang yang ia aniaya. Yehezkiel pastilah mengingatkan pembaca Kitab Suci akan Paulus. Dan, memang tidak salah lagi, Yehezkiel adalah Paulus versi Perjanjian Lama.