Merdeka!

Jumat, 17 Agustus 2018 – Hari Raya Kemerdekaan Republik Indonesia

115

Bin Sirakh 10:1-8

Pemerintah yang bijak mempertahankan ketertiban pada rakyatnya, dan pemerintahan orang arif adalah teratur. Seperti penguasa bangsa demikianpun para pegawainya, dan seperti pemerintah kota demikian pula semua penduduknya. Raja yang tidak terdidik membinasakan rakyatnya, tetapi sebuah kota sejahtera berkat kearifan para pembesarnya. Di dalam tangan Tuhan terletak kuasa atas bumi, dan pada waktunya Ia mengangkat orang yang serasi atasnya. Di dalam tangan Tuhanlah terletak kemujuran seorang manusia, dan kepada para pejabat dikaruniakan oleh-Nya martabatnya. Hendaklah engkau tidak pernah menaruh benci kepada sesamamu apapun juga kesalahannya, dan jangan berbuat apa-apa terpengaruh oleh nafsu. Kecongkakan dibenci oleh Tuhan maupun oleh manusia, dan bagi kedua-duanya kelaliman adalah salah. Pemerintahan beralih dari bangsa yang satu kepada bangsa yang lain akibat kelaliman, kekerasan dan uang.

***

Kitab Bin Sirakh ditulis ketika budaya Yunani berkembang pesat di tengah-tengah bangsa Yahudi (195-175 SM). Kehadiran budaya asing ini sedikit banyak menggoyahkan kemapanan budaya lama, yakni budaya Yahudi. Kehidupan sosial mulai berubah. Setidaknya ada dua hal yang terjadi di kalangan masyarakat Yahudi saat itu, yakni lunturnya ikatan keluarga dan kesukuan, serta semakin ditinggalkannya budaya Yahudi berhubung daya tarik budaya Yunani yang sangat kuat.

Kehidupan bersama perlahan juga mengalami pergeseran. Sebelumnya hak orang Yahudi atas tanah dijaga dengan baik, jangan sampai dirampas oleh mereka yang tidak berhak. Namun, pada saat itu semakin banyak orang kehilangan tanahnya akibat dirampas oleh orang kaya dan para penguasa. Sebelumnya kalau ada seseorang berada dalam masalah, misalnya terlilit utang, saudaranya akan tampil membela dan memberikan bantuan. Namun, pada saat itu orang-orang yang menanggung masalah cenderung diabaikan oleh kerabat mereka, sebab setiap orang hanya mau peduli kepada dirinya sendiri.

Dengan latar belakang masyarakat yang seperti itulah kitab Bin Sirakh disusun. Penyusun kitab ini bermaksud mengajak orang Yahudi untuk setia kepada tradisi leluhur mereka. Orang-orang yang meninggalkan keyahudian dengan menerima budaya Yunani ditegurnya dengan kecaman yang amat sangat keras, “Celakalah kamu, hai orang-orang yang fasik, yang telah meninggalkan Taurat dari Yang Mahatinggi” (Sir. 41:8).

Sementara itu, menyangkut pemimpin masyarakat, Bin Sirakh merindukan hadirnya pemimpin yang bijaksana, yakni pemimpin yang mengasihi rakyatnya dan yang memerintah dengan penuh tanggung jawab. Kemampuan memimpin negara adalah kebijaksanaan tertinggi. Orang yang sanggup melakukan itu dengan cakap berarti dianugerahi hikmat oleh Allah. Ia akan memerintah dengan tulus dan jujur, serta rela berjuang keras demi kesejahteraan rakyat.

Sebaliknya, pemimpin yang congkak mendapat kritikan pedas. Pemerintahannya tidak mendatangkan berkat, malah membinasakan rakyat. Dipikirnya menjadi penguasa berarti duduk tenang-tenang di atas takhta. Dipikirnya menjadi penguasa berarti berhak membuat kebijakan dengan seenaknya, yang penting kepentingan pribadi dan keluarganya sendiri tidak terganggu. Penguasa model ini harus tahu bahwa ia seharusnya mengerahkan seluruh daya upaya agar rakyatnya maju!

Sudah selayaknya para pemimpin kita merenungkan hal itu baik-baik. Jadilah negarawan sejati. Malu rasanya kalau yang kita punyai ternyata pemimpin-pemimpin yang lebih mementingkan urusan pribadi, atau pemimpin-pemimpin yang hanya pandai merangkai kata tetapi nol besar dalam hal kerja.

Pada hari kemerdekaan Indonesia ini, marilah kita berdoa semoga Tuhan berkenan memberkati para pemimpin kita. Semoga pemimpin-pemimpin yang baik, yang sungguh-sungguh melayani rakyat dan bekerja keras demi kemajuan bangsa, Ia berkati dengan kesehatan dan kesejahteraan. Orang-orang seperti itu adalah sarana yang dipakai Tuhan untuk menyalurkan berkat-Nya kepada kita semua.

Merdeka!