Mendengarkan dengan Hati

Sabtu, 22 September 2018 – Hari Biasa Pekan XXIV

833

Lukas 8:4-15

Ketika orang banyak berbondong-bondong datang, yaitu orang-orang yang dari kota ke kota menggabungkan diri pada Yesus, berkatalah Ia dalam suatu perumpamaan: “Adalah seorang penabur keluar untuk menaburkan benihnya. Pada waktu ia menabur, sebagian benih itu jatuh di pinggir jalan, lalu diinjak orang dan burung-burung di udara memakannya sampai habis. Sebagian jatuh di tanah yang berbatu-batu, dan setelah tumbuh ia menjadi kering karena tidak mendapat air. Sebagian lagi jatuh di tengah semak duri, dan semak itu tumbuh bersama-sama dan menghimpitnya sampai mati. Dan sebagian jatuh di tanah yang baik, dan setelah tumbuh berbuah seratus kali lipat.” Setelah berkata demikian Yesus berseru: “Siapa mempunyai telinga untuk mendengar, hendaklah ia mendengar!”

Murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya, apa maksud perumpamaan itu. Lalu Ia menjawab: “Kepadamu diberi karunia untuk mengetahui rahasia Kerajaan Allah, tetapi kepada orang-orang lain hal itu diberitakan dalam perumpamaan, supaya sekalipun memandang, mereka tidak melihat dan sekalipun mendengar, mereka tidak mengerti. Inilah arti perumpamaan itu: Benih itu ialah firman Allah. Yang jatuh di pinggir jalan itu ialah orang yang telah mendengarnya; kemudian datanglah Iblis lalu mengambil firman itu dari dalam hati mereka, supaya mereka jangan percaya dan diselamatkan. Yang jatuh di tanah yang berbatu-batu itu ialah orang, yang setelah mendengar firman itu, menerimanya dengan gembira, tetapi mereka itu tidak berakar, mereka percaya sebentar saja dan dalam masa pencobaan mereka murtad. Yang jatuh dalam semak duri ialah orang yang telah mendengar firman itu, dan dalam pertumbuhan selanjutnya mereka terhimpit oleh kekuatiran dan kekayaan dan kenikmatan hidup, sehingga mereka tidak menghasilkan buah yang matang. Yang jatuh di tanah yang baik itu ialah orang, yang setelah mendengar firman itu, menyimpannya dalam hati yang baik dan mengeluarkan buah dalam ketekunan.”

***

Seorang penulis tentang komunikasi dan kepemimpinan berkata demikian, “Orang mampu berbicara dengan kecepatan 100 hingga 175 kata per menit dan mampu mendengarkan 600 hingga 800 kata per menit bila mendengarkan dengan penuh perhatian. Namun, sering orang tidak mendengarkan dengan sepenuh hati. Sementara mendengarkan, pikirannya sibuk dengan hal-hal lain. Orang yang mendengarkan dengan sepenuh hati mampu untuk mencerna informasi, mengikuti arah pembicaraan, memahami orang lain, memecahkan masalah, merasakan bagaimana perasaan orang lain, dan memberikan dukungan.”

Perumpamaan tentang seorang penabur dalam Injil hari ini menginspirasi kita untuk mendengarkan dengan sepenuh hati. Sebenarnya perumpamaan ini mengajak kita untuk mendengarkan firman Allah dengan hati agar sabda-Nya yang kita dengar bisa tumbuh dan berbuah dalam kehidupan sehari-hari. Namun, saya merenungkan bahwa perikop ini juga bisa digunakan untuk merefleksikan bagaimana kita mendengarkan orang lain dengan hati.

Perumpamaan tentang seorang penabur memberikan gambaran bahwa ada empat jenis suasana hati pada saat orang mendengarkan orang lain. Hal ini dideskripsikan dengan jenis tanah di mana benih yang ditaburkan itu jatuh.

Pertama, “Sebagian benih itu jatuh di pinggir jalan, lalu diinjak orang dan burung di udara memakannya.” Jalan adalah tempat orang berlalu-lalang. Saat berjalan, orang cenderung sibuk dengan diri sendiri atau sibuk bercerita dengan teman. Tidak ada perhatian dan kepedulian terhadap benih yang jatuh di pinggir jalan itu. Hal ini menggambarkan suasana hati yang tidak peduli ketika mendengarkan orang lain. Orang yang seperti ini selalu sibuk dengan diri sendiri dan membiarkan pembicaraan itu menguap tanpa tersisa di hati.

Kedua, “Sebagian jatuh di tanah yang berbatu-batu, dan setelah tumbuh ia menjadi kering karena tidak mendapat air.” Hati bisa seperti batu: keras, tak dapat ditembus, dan tertutup. Hati yang membatu menjadi ungkapan untuk orang yang tidak bisa mencintai dan dicintai. Orang yang memiliki hati yang membatu adalah orang yang tidak mau mendengarkan orang lain dan hanya mau mendengarkan diri sendiri.

Ketiga, “Sebagian lagi jatuh di tengah semak duri, dan semak itu tumbuh bersama-sama dan menghimpitnya sampai mati.” Semak duri menyimbolkan keculasan dan kelicikan. Ada target atau ambisi pribadi yang hendak dicapai di dalam hati orang yang bersemak duri. Pembicaraan dengan orang yang berhati semak duri tidak akan bisa dua arah. Kendati dia ini mendengarkan, tetapi keinginan pribadi jauh lebih besar dan pada akhirnya dia akan memenangkan ambisi pribadinya ini.

Keempat, “Sebagian jatuh di tanah yang baik, dan setelah tumbuh berbuah seratus kali lipat.” Tanah yang baik adalah tanah yang gembur. Tanah yang seperti ini menjadi gambaran hati yang tenang, dalam, dan lembut. Hanya dengan kelembutan, ketenangan, dan perhatian yang dalam, orang bisa mendengarkan orang lain dengan sepenuh hati. Ketika kita bisa mendengarkan dengan sepenuh hati, maka pembicaraan itu akan menghasilkan buah yang bermanfaat bagi hidup bersama.

Problem besar di tengah keluarga dan masyarakat kita saat ini adalah: orang ingin berbicara, tetapi tidak mau mendengarkan. Mari kita mengolah hati kita agar mampu menjadi pendengar yang mendengarkan dengan sepenuh hati.