Kekerasan dalam Alkitab (7)

1307

Suatu sabda Yesus yang penuh teka-teki dalam Mat. 11:12 dan Luk. 16:16 mengaitkan kedatangan Kerajaan Allah sejak Yohanes dengan kekerasan. “Kerajaan Surga diserong dan orang yang menyerongnya mencoba menguasainya;” “setiap orang menggagahinya berebut memasukinya.” Kalau mengamati kisah Injil, kekerasan tersebut bukan hanya menyangkut apa yang dialami oleh Yesus dan pengikut-Nya, tetapi juga muncul dalam apa yang dilakukan oleh Yesus dalam sabda maupun tindakan. Malahan Injil Markus yang tidak memuat sabda teka-teki tadi dan tidak pernah memakai kata “kekerasan,” memberi gambaran yang lebih keras tentang Yesus (Aichele, 1998:72-91). Yesus menggambarkan diri-Nya sebagai perampok yang memakai kekerasan: “Tidak seorang pun dapat memasuki rumah seorang yang kuat untuk merampas harta bendanya apabila tidak diikatnya dahulu orang kuat itu. Sesudah itu barulah dapat ia merampok rumah itu” (Mrk. 3:27). Kekerasan tersebut menjadi sangat tampak dalam benturan yang terjadi saat pengusiran setan (mis. Mrk. 1:25-26); khususnya ketika banyak roh yang dengan bengis menguasai seorang Gerasa diusir secara kejam untuk masuk ke dalam dua ribu ekor babi yang kemudian mati tenggelam di danau (Mrk. 5:1-13). Tidak heran bahwa penduduk Gerasa mendesak Yesus untuk meninggalkan daerah mereka.

Kaitan lebih jelas lagi antara kekerasan dan Kerajaan Allah tampak dalam perumpamaan tentang penggarap kebun anggur. Kekejaman para penggarap yang berturut-turut menghajar dan membunuh hamba-hamba, bahkan anak dari pemilik kebun, dibalas oleh pemilik dengan membinasakan mereka (Mrk. 12:1-12). Tindakan Yesus yang paling keras agaknya adalah pembersihan Bait Allah: “Sesudah Yesus masuk ke Bait Allah, mulailah Ia mengusir orang-orang yang berjual beli di halaman Bait Allah. Meja-meja penukar uang dan bangku-bangku pedagang merpati dibalikkan-Nya, dan Ia tidak memperbolehkan orang membawa barang-barang melintasi halaman Bait Allah” (Mrk. 11:15-16).[1] Para pemimpin Yahudi menjawab tindakan pembersihan dan perumpamaan tentang penggarap kebun anggur dengan tekad untuk menangkap dan membinasakan Yesus. Karena itu, kedua adegan yang penuh nada dan aksi kekerasan ini secara langsung mempersiapkan pentas untuk puncak kekerasan dalam Injil, yakni penyiksaan dan pembunuhan Yesus.

Bahasa kekerasan dipakai Perjanjian Baru dalam menggambarkan pertentangan antara orang-orang Yahudi dan Yesus. Kata-kata keras yang diletakkan di bibir Yesus bila berhadapan para pemimpin Yahudi melanggar perintah Yesus untuk mengasihi musuh (Mat. 23:13-32; Yoh. 8:43-44). Beberapa teks (mis. Mat. 27:25, “Biarlah darah-Nya ditanggungkan atas kami dan atas anak-anak kami!”) dalam tradisi Kristen kemudian ditafsirkan sebagai kutukan untuk seluruh bangsa Yahudi, lalu menyumbang kepada anti-Semitisme yang terus melahirkan kekerasan baru. Sesungguhnya, teks-teks itu aslinya tidak mengandung anti-Semitisme, tetapi mengungkapkan suatu konflik yang sepenuhnya intern Yahudi pada abad pertama. Kita tahu bahwa latar belakangnya barangkali bukan masa pelayanan Yesus sendiri, melainkan ketegangan yang terjadi lebih kemudian antara jemaat Yahudi-Kristen dan umat Yahudi yang tidak menerima Injil. Kendati pun demikian, beberapa teks itu terus menimbulkan kekerasan yang sangat tragis. Di sini pun diperlukan refleksi yang lebih mendalam dan keberanian untuk bersama Raymond Brown mengatakan, “Sangat tidak masuk akal bagi umat Kristen abad ke-20 untuk bersama Yohanes (Yoh. 8:44) menganggap ‘orang-orang Yahudi’ sebagai anak Iblis” (Lefebure, 203:114).

Khususnya teks-teks Perjanjian Baru tentang akhir zaman menunjuk kepada peristiwa-peristiwa kekerasan akhir. Hal itu sudah tampak dalam wejangan terakhir Yesus dalam Injil-injil. Anak Manusia akan datang dengan kekuasaan dan kedahsyatan untuk mengumpulkan orang-orang pilihan-Nya dari antara yang lain (Mrk. 13:26-27). Lebih lagi kitab Wahyu yang mengantisipasi peperangan akhir antara pasukan kebaikan dan kekuatan kejahatan (Why. 19:11 – 20:3). Penunggang kuda putih akan menghentikan kekuasaan kekuatan-kekuatan jahat dengan melemparkannya ke dalam lautan api. Apakah di sini kitab Wahyu jatuh kembali ke model perang suci dan prajurit ilahi yang diperlukan untuk mengatasi kejahatan di dunia? Ataukah kitab Wahyu justru membalikkan model peperangan itu dengan menampilkan Singa Yehuda dan penunggang kuda putih itu sebagai Anak Domba yang disembelih (Why. 5:5-6; 14:1; dll.)?  Anak Domba bersama pengikutnya memperoleh kemenangan melalui salib dan kesaksian kemartiran. Terjadinya peperangan akhir tidak pernah ditampilkan. Hal itu membawa kita kepada topik berikut.

(Bersambung)

[1] Dalam Mrk. 11, pembersihan Bait Allah menyelingi cerita tentang pengutukan pohon ara yang juga merupakan adegan kekerasan, bahkan pengrusakan alam yang tidak masuk akal dan terasa sewenang-wenang karena saat itu memang bukan musim buah-buahan.