Cinta dan Ketulusan

Minggu, 7 Oktober 2018 – Hari Minggu Biasa XXVII

234

Markus 10:2-12

Maka datanglah orang-orang Farisi, dan untuk mencobai Yesus mereka bertanya kepada-Nya: “Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan istrinya?” Tetapi jawab-Nya kepada mereka: “Apa perintah Musa kepada kamu?” Jawab mereka: “Musa memberi izin untuk menceraikannya dengan membuat surat cerai.” Lalu kata Yesus kepada mereka: “Justru karena ketegaran hatimulah maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu. Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”

Ketika mereka sudah di rumah, murid-murid itu bertanya pula kepada Yesus tentang hal itu. Lalu kata-Nya kepada mereka: “Barangsiapa menceraikan istrinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinaan terhadap istrinya itu. Dan jika si istri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zina.”

***

Secara positif, cinta selalu berkaitan dengan ketulusan, pengorbanan, dan kesetiaan. Ketika hal itu berjalan dengan semestinya, sukacita senantiasa hadir dan dirasakan, sebab cinta kasih mendewasakan dan memberikan kehidupan.

Namun, ada kalanya dalam cinta ada kegalauan dan kekecewaan. Tidak perlu gelisah, sebab hal itu juga seiring sejalan. Tatkala kita dilanda rasa kecewa dan galau, tidak secara otomatis cinta dalam diri kita tidak dapat berkembang.

Kualitas cinta terletak pada relasi timbal balik. Relasi yang tulus akan menjadikan cinta yang tulus pula. Cinta terungkap dalam sikap saling menerima, mengingatkan, dan meneguhkan. Sebagaimana Allah mencintai manusia dengan tulus sehingga menghindarkan kegalauan dan kekecewaan, kita pun diundang melakukan hal yang sama, baik kepada-Nya maupun kepada sesama. Cinta yang tulus selalu memberikan yang terbaik.

Saya terkenang akan syair sebuah lagu yang berjudul Hadiah dari Tuhan, karya Alexander Erwin MSF. Bunyinya demikian: “Tak terasa bersamamu, jalani hidupku berdua. Tanpa sepi bersehati, kau mendampingku. Engkau hadiah dari Tuhan, berkat terbesar di hidupku. Terima kasih kepadamu, pendamping terbaikku. Keluarga yang terbaik, jadi kekuatan imanku. Buah hati buah cinta, anugrah terindah. Ini persembahanku, Tuhan. Terima kasih setia-Mu. Seperti telah Kaulakukan dalam keluargaku.”

Kesetiaan Tuhan menjadi dasar kesetiaan cinta manusiawi antara pasangan suami-istri, membuat keluarga berani mempersembahkan diri, juga menumbuhkembangkan iman keluarga. Demikianlah kebahagiaan cinta tidak sekadar menjadi kebahagiaan pribadi, tetapi terutama menjadi kebahagiaan bersama, kebahagiaan suami, istri, anak, bahkan orang-orang di sekitar mereka.

Bersyukurlah karena kita selalu mencintai sesama, bersyukurlah karena kita juga selalu dicintai mereka.