Tuhan, Mengapa Engkau Mengasihi Mereka? (7)

Universalitas Kasih Allah dalam Kitab Yunus

167

Kita adalah Yunus

Sebagai sebuah satire, kisah Yunus sengaja disusun untuk menyindir seseorang atau sesuatu hal, dan yang disindir di sini tidak lain adalah Yunus sendiri beserta segala sikap dan perilakunya yang absurd dan menjengkelkan. Yunus mengakui bahwa Allah itu mahakuasa, tetapi tetap saja berusaha mengatur-atur dan membatasi kedaulatan-Nya. Ia berkeberatan melihat Allah mengampuni dan mengasihi orang Niniwe, sebab mereka ini adalah musuh orang Israel. Kasih Allah hendaknya tertuju kepada umat pilihan-Nya saja, padahal tingkah laku umat pilihan yang diwakili oleh dirinya begitu jauh dari harapan.

Tingkah laku Yunus memang sangat mengecewakan. Perintah Allah ia abaikan, ketetapan Allah ia kecam, dan pada akhirnya ia merajuk karena merasa bahwa yang dilakukan Allah tidak sesuai dengan yang diharapkan. Terhadap sesama manusia, sikap Yunus juga sangat buruk. Sesama dalam benaknya berarti orang yang sekelompok dengan dirinya. Mereka yang suku, bangsa, dan imannya berbeda tidak cocok disebut sesama, lebih-lebih orang Niniwe! Orang Niniwe adalah musuh besar orang Israel. Di mata Yunus, mereka ini pantas untuk dibenci dan dihancurkan sampai ke akar-akarnya. Boleh dibilang bahwa malapetaka bagi orang Niniwe adalah sukacita bagi Yunus.

Hukum yang terutama dalam hukum Taurat adalah mengasihi Allah dengan sepenuh hati dan mengasihi sesama seperti diri sendiri. Yang mengatakan demikian bukan hanya Yesus, tetapi juga para ahli Taurat (Mrk. 10:32-33; Luk. 10:27), bahkan sejak zaman Perjanjian Lama (Im. 19:18; Ul. 6:5). Sesuai dengan martabat luhur mereka, umat Allah diharapkan memegang teguh dan melaksanakan kedua hukum tersebut dalam kehidupan nyata. Yang dilakukan Yunus tidak demikian. Ia tidak mengasihi Allah, tidak juga mengasihi sesama. Yang dipedulikan Yunus hanya pandangannya, keinginannya, kepentingannya, atau dengan kata lain: dirinya sendiri.

Itulah sebabnya tidak ada yang boleh meremehkan kitab Yunus. Kisah yang dituturkan oleh kitab ini mengandung pesan yang mendalam dan relevan sepanjang masa. Yunus memang melambangkan ketertutupan orang Israel, tetapi yang bersikap demikian bukan orang Israel saja. Kelompok-kelompok seperti ini jumlahnya sangat banyak dan masih berkembang sampai sekarang. Merekalah “Yunus masa kini,” dan sejauh kita bersikap seperti itu, kita pun termasuk di dalamnya.

Kita adalah Yunus ketika menyebut diri umat pilihan, tetapi tidak mengenal Dia yang memilih kita. Kita adalah Yunus ketika menyebut diri umat Allah, tapi sifat dan kelakuan kita berbanding terbalik dengan-Nya. Kita adalah Yunus ketika berani-beraninya mengatur Allah agar tidak mengasihi kelompok lain dan agar yang diselamatkan-Nya hanya kelompok kita saja. Kita adalah Yunus ketika menganggap kelompok lain kafir, sesat, dan martabatnya lebih rendah dari kita. Kita adalah Yunus ketika penderitaan orang lain menjadi pengharapan, doa, dan sukacita kita, sementara berkat yang mereka terima justru membuat kita marah, iri, dan berduka.

(Bersambung)