Menerima Usia Lanjut pada Zaman Alkitab dan Sekarang (5)

154

Jalan menuju terang

Apakah ada jalan keluar dari kegelapan seperti itu, jalan untuk menghindarinya menjelang hari tua? Perlu disadari bahwa jalan kegelapan sebagian orang itu bukan hanya masalah pribadi tertentu, tetapi juga masalah masyarakat kita, masalah struktural. Masyarakatlah yang cenderung menilai makna kehidupan dengan ukuran produktivitas, atau cenderung menilai orang seturut gengsi lingkaran teman-temanya. Orang yang mengidentifikasi diri dengan penilaian masyarakat hanya dapat memasuki hari tua sebagai sesuatu yang murung.

Syukur, kita mengenal cukup banyak orang lansia yang tampak bahagia (baca misalnya Gunanto, Sukacita di Hari Tua, 2012). Wajah mereka menyiarkan terang. Mereka seperti Simeon di Bait Allah. Sudah siap untuk pergi dalam damai sejahtera, ia bersyukur atas keselamatan dan terang bagi bangsa-bangsa yang dilihatnya (Luk. 2:29-32).

Banyak orang lansia tidak masuk dalam perangkap pesimisme, tidak tunduk kepada karikatur hari tua, dan tidak merasa dikucilkan dari masyarakat aktif atau membiarkan harga diri mereka ditentukan oleh banyak dan gengsinya teman-teman. Bukannya murung dan menolak, sebaliknya pribadi mereka bisa menarik karena ada yang khas dan unik. Itu bukan hanya tampak pada orang-orang lansia yang terkenal seperti Paus Yohanes XXIII, Ibu Theresa, atau mantan presiden kita Habibie, tetapi juga pada beberapa orang lansia yang biasa-biasa saja, orang-orang yang dekat dengan kita. Apa rahasia yang menjaga mereka terhadap sikap penolakan dan membuat mereka menemukan hari tua sebagai jalan terang yang penuh kegairahan?

Nouwen dan Gaffney (51-85) menunjuk kepada pengharapan sebagai jalan menuju terang: perubahan yang terjadi dalam diri manusia yang bergeser dari keinginan-keinginannya menuju kepada hidup berpengharapan. Keinginan-keinginan selalu tertuju kepada objek nyata: rumah, mobil, promosi, atau kekayaan. Sebaliknya, pengharapan itu terbuka, didasarkan pada kepercayaan bahwa yang lain akan setia memenuhi niat dan janjinya. Persahabatan yang berdasarkan keinginan-keinginan selalu gawat; tetapi bila didasarkan pada pengharapan, persahabatan itu terbuka dan penuh kemungkinan. Peralihan dari “hidup berkeinginan” menjadi “hidup berpengharapan” jangan ditunda sampai hari tua, tetapi mestinya sudah terjadi pada tengah umur. Setiap kali kita diminta untuk melepaskan suatu keinginan ataupun melepaskan seorang sahabat, kita diundang untuk memperluas perspektif kita dan menemukan arus pengharapan di bawah permukaan keinginan-keinginan kita. Kalau peralihan itu tidak terjadi di siang hari hidup kita, bagaimana akan terjadi di malam hari?

Bila pengharapan bertambah, kita semakin menyadari bahwa nilai kita bukan hanya apa yang kita hasilkan dan capai, tetapi siapa saya, adanya saya. Hidup boleh berkurang dari sudut kegunaan dan penghasilan, tetapi yang penting bertambah makna. Suatu perumpamaan Cina telah mengajarkan kepada saya mengapa pohon karet liar yang ada di depan rumah saya, di Biara Santo Yusuf, Sindanglaya, Jawa Barat bisa bertumbuh menjadi pohon tertinggi, tertua, dan terindah di seluruh wilayah. Itu tidak lain karena kayunya kurang berguna bagi bangunan dan mebel. Semoga saya terus belajar dari keberadaan pohon yang tua itu.

(Bersambung)