Risiko Seorang Nabi

Minggu, 3 Februari 2019 – Hari Minggu Biasa IV

339

Lukas 4:21-30

Lalu Ia memulai mengajar mereka, kata-Nya: “Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya.” Dan semua orang itu membenarkan Dia dan mereka heran akan kata-kata yang indah yang diucapkan-Nya, lalu kata mereka: “Bukankah Ia ini anak Yusuf?” Maka berkatalah Ia kepada mereka: “Tentu kamu akan mengatakan pepatah ini kepada-Ku: Hai tabib, sembuhkanlah diri-Mu sendiri. Perbuatlah di sini juga, di tempat asal-Mu ini, segala yang kami dengar yang telah terjadi di Kapernaum!” Dan kata-Nya lagi: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya. Dan Aku berkata kepadamu, dan kata-Ku ini benar: Pada zaman Elia terdapat banyak perempuan janda di Israel ketika langit tertutup selama tiga tahun dan enam bulan dan ketika bahaya kelaparan yang hebat menimpa seluruh negeri. Tetapi Elia diutus bukan kepada salah seorang dari mereka, melainkan kepada seorang perempuan janda di Sarfat, di tanah Sidon. Dan pada zaman nabi Elisa banyak orang kusta di Israel dan tidak ada seorang pun dari mereka yang ditahirkan, selain dari pada Naaman, orang Siria itu.” Mendengar itu sangat marahlah semua orang yang di rumah ibadat itu. Mereka bangun, lalu menghalau Yesus ke luar kota dan membawa Dia ke tebing gunung, tempat kota itu terletak, untuk melemparkan Dia dari tebing itu. Tetapi Ia berjalan lewat dari tengah-tengah mereka, lalu pergi.

***

Yesus mulai mewartakan kabar baik kepada masyarakat. Sebagian menyambut kehadiran-Nya dengan tangan terbuka, tetapi sebagian lagi ternyata menolak-Nya. Yang terakhir inilah yang muncul dalam bacaan Injil hari ini. Orang-orang Nazaret menolak kehadiran dan pekerjaan Yesus, padahal di kota inilah Yesus dibesarkan. Kisah penolakan ini merupakan kisah yang sangat penting dalam Injil Lukas karena menunjukkan gagasan sang penulis Injil tentang karya keselamatan Allah.

Jalan hidup seorang nabi kiranya akrab dengan yang namanya penolakan. Mereka justru sering ditolak dan dibuat susah oleh saudara-saudara mereka sendiri (bandingkan pengalaman Yesus dengan pengalaman Nabi Yeremia dalam bacaan pertama hari ini, Yer. 1:4-5, 17-19). Lebih dari itu, alasan penolakan yang dialami Yesus kali ini rupanya sangat mendasar. Yesus tidak diterima karena Ia membawa kabar keselamatan yang sifatnya universal, yang berlaku bagi semua orang.

Sungguh sangat disayangkan, perasaan seperti orang-orang Nazaret itu sampai sekarang masih terpelihara, bahkan menjangkau masyarakat kita juga. Masyarakat terkotak-kotak dalam berbagai macam kelompok, di mana masing-masing kelompok merasa bahwa merekalah yang paling baik. Menjadi sensitif jika kelompok yang dimaksud adalah kelompok agama. Bisa-bisa masalah menjadi hitam dan putih: agama saya benar, agamamu salah; saya nanti akan masuk surga, kamu akan kepanasan di neraka. Sampai kapan kiranya kita semua sadar, bahwa kasih Allah sudah pasti ditujukan kepada semua manusia tanpa pilih-pilih?

Karena itu, keteguhan hati Yesus untuk berani ditolak orang-orang sekampung-Nya kiranya patut kita teladani. Pada intinya, sikap melawan arus yang ditempuh Yesus ini adalah demi tegaknya kebenaran. Ditolak bahkan dibunuh adalah risiko yang mesti dihadapi, dan kita tahu bahwa Yesus dengan setia menanggung itu semua sampai akhir. Para nabi mewartakan kebenaran, tetapi tidak semua orang suka mendengarkan kebenaran. Kebenaran kadang-kadang menyakitkan, bukan?