Lebih Besar Daripada Kurban Bakaran dan Persembahan

Jumat, 29 Maret 2019 – Hari Biasa Pekan III Prapaskah

467

Markus 12:28b-34

Lalu seorang ahli Taurat datang kepada-Nya dan bertanya: “Hukum manakah yang paling utama?” Jawab Yesus: “Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini.” Lalu kata ahli Taurat itu kepada Yesus: “Tepat sekali, Guru, benar kata-Mu itu, bahwa Dia esa, dan bahwa tidak ada yang lain kecuali Dia. Memang mengasihi Dia dengan segenap hati dan dengan segenap pengertian dan dengan segenap kekuatan, dan juga mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri adalah jauh lebih utama dari pada semua korban bakaran dan korban sembelihan.” Yesus melihat, bagaimana bijaksananya jawab orang itu, dan Ia berkata kepadanya: “Engkau tidak jauh dari Kerajaan Allah!” Dan seorang pun tidak berani lagi menanyakan sesuatu kepada Yesus.

***

Orang Yahudi memiliki 613 aturan dalam Taurat, terdiri dari 248 perintah dan 365 larangan. Karena itu, bisa dimengerti bila ahli Taurat dalam Injil hari ini bertanya kepada Yesus tentang perintah yang paling utama dalam Taurat. Yesus menjawab dengan mengutip pengakuan iman orang Israel, yang didoakan setiap pagi dan petang, untuk mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, budi, dan kekuatan (Ul. 6:4-5). Kemudian perintah kedua adalah mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri (Im. 19:18). Barangkali baik bila kita merenungkan sejenak bagaimana aplikasi dari perintah utama ini dalam hidup kita sehari-hari.

Mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, akal budi, dan kekuatan berarti mengasihi Tuhan dengan seluruh diri kita. Mengasihi Tuhan dengan segenap hati berarti mengasihi-Nya dengan mantap, tidak mendua, tidak bimbang ataupun ragu. Bila seseorang mengasihi dan mengimani Tuhan yang mahakasih, tentunya dia tidak akan bercabang hati dengan mempraktikkan ritual keyakinan lain atau menjadi bimbang oleh karena pelbagai ramalan nasib.

Mengasihi Tuhan dengan sepenuh jiwa dapat diwujudkan dalam bentuk doa harian dan  perayaan Ekaristi yang penuh antusias, bukan sekadar memenuhi kewajiban, apalagi karena terpaksa. Mengasihi Tuhan dengan segenap akal budi berarti juga mendayagunakan kemampuan berpikir kita untuk mempelajari dan merenungkan firman Tuhan, sehingga kita semakin mantap dalam beriman. Iman kita bukanlah iman yang buta, melainkan iman yang berusaha mencari pemahaman. Ini artinya kita dituntut untuk terus mempelajari dan memperdalam khazanah iman kita, agar mampu mempertanggungjawabkan iman tersebut dalam masyarakat yang majemuk.

Mengasihi Tuhan dengan segenap kekuatan berarti mendayagunakan segala potensi, waktu, talenta, dan materi untuk merealisasikan kasih kepada Tuhan. Caranya antara lain dengan menyumbangkan tenaga, waktu, potensi, dan materi secara tulus ikhlas dalam pelayanan di Gereja. Orang-orang yang justru menggunakan pelayanan di Gereja sebagai kesempatan untuk meningkatkan gengsi, bahkan untuk mencari keuntungan materi, patut bertanya dalam hati apakah sungguh diri mereka mengasihi Tuhan.

Sementara itu, mengasihi sesama seperti diri sendiri menuntut kerelaan kita untuk berkorban. Memberikan perhatian kepada orang lain dan sedapat mungkin membantu mereka menjadi lebih baik menuntut kita untuk berani keluar dari diri sendiri. Melakukan hal demikian tentu tidak mudah, sebab biasanya kita cenderung memikirkan kepentingan pribadi. Untuk mengasihi sesama, kita harus berani berkorban, termasuk korban perasaan.

Ahli Taurat yang tadi bertanya membenarkan jawaban Yesus. Ia juga berkata bahwa mengasihi Tuhan dan sesama jauh lebih besar daripada kurban bakaran dan persembahan. Masyarakat Yahudi pada masa itu biasa membawa binatang ke Bait Allah di Yerusalem sebagai kurban bakaran untuk ucapan syukur atau penebus dosa. Sementara persembahan yang dibawa ke Bait Allah bisanya berupa hasil panen dan makanan. Namun, para nabi menegaskan bahwa yang dikehendaki oleh Tuhan bukanlah kurban bakaran dan persembahan, melainkan belas kasih, keadilan, dan kebenaran (Hos. 6:6; Yes. 1:11-17; Am. 5:21-24), serta hati yang menaati firman-Nya (1Sam. 15:22). Inilah yang terpenting dalam Taurat Tuhan: keadilan, belas kasih, dan kesetiaan (bdk. Mat. 23:23).

Marilah kita renungkan, sejauh mana kita juga mengupayakan kasih kepada Tuhan dan sesama yang jauh lebih besar daripada kurban bakaran dan persembahan? Sejauh mana upaya kita dalam memperjuangkan belas kasih dan keadilan sehingga lebih menjadi prioritas daripada sekadar upacara liturgi yang semarak?