Sikap yang Benar dalam Berdoa

Sabtu, 30 Maret 2019 – Hari Biasa Pekan III Prapaskah

986

Lukas 18:9-14

Dan kepada beberapa orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain, Yesus mengatakan perumpamaan ini: “Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai. Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku. Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini. Aku berkata kepadamu: Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.”

***

Masa Prapaskah adalah kesempatan untuk mengadakan retret agung, di mana kita diundang untuk memperdalam relasi kita dengan Tuhan dalam doa. Dalam Injil hari ini, Yesus memberikan pengajaran bagaimana sikap yang benar dalam berdoa. Pengajaran ini pertama-tama ditujukan kepada mereka yang kerap “menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain.”

Melalui sebuah perumpamaan, Yesus menuturkan sikap kontras dalam berdoa antara orang Farisi dan pemungut cukai. Si Farisi berdiri di depan Bait Allah, namun bukannya memuji Tuhan, ia malah bermegah di hadapan-Nya atas segala pencapaian dan kesalehannya. Dia merasa bangga karena telah berpuasa dan memberikan persepuluhan lebih dari yang ditentukan. Bila orang Yahudi hanya berpuasa setahun sekali pada Hari Raya Pendamaian, orang Farisi ini rutin berpuasa seminggu dua kali, hari Senin dan Kamis. Bila orang Yahudi dituntut memberikan persepuluhan atas hasil ternak serta panen gandum dan anggur, orang Farisi ini bahkan memberikan persepuluhan atas semua penghasilannya, termasuk dalam hal rempah-rempah bumbu dapur.

Tidak hanya itu, orang Farisi tersebut juga mengatakan bahwa dia tidak seperti “pemungut cukai ini.” Ya, pemungut cukai oleh orang Yahudi kerap dipandang sebagai orang berdosa, karena menarik pajak bagi penjajah Romawi dan biasa menarik lebih dari yang ditentukan. Pemungut cukai itu memang hanya berani berdiri jauh di belakang. Ia tidak berani menengadah, melainkan memukul diri dan berkata lirih, “Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.”

Yesus menegaskan bahwa si pemungut cukai pulang sebagai orang yang dibenarkan Tuhan. Sementara orang Farisi yang menganggap diri saleh justru tidak dibenarkan oleh-Nya. Barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan oleh Tuhan. Sebaliknya, yang meninggikan diri justru akan direndahkan oleh-Nya.

Sikap seperti orang Farisi dalam perumpamaan tadi terkadang menggoda kita juga. Kita yang merasa sudah maju dalam hidup rohani, dalam ketekunan mendengarkan, merenungkan, dan melakukan sabda Tuhan; kita yang aktif dalam kegiatan menggereja di paroki maupun lingkungan; kita yang menjadi aktivis kelompok kategorial, bahkan tekun mengikuti misa setiap hari; bisa-bisa terperangkap dalam “kesombongan rohani” dengan menganggap diri benar di hadapan Tuhan dan memandang rendah saudara seiman lainnya. Dalam Masa Prapaskah ini, kita diajak berdoa secara benar di hadapan Tuhan, dengan meniru si pemungut cukai, “Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.”