Ikutlah Aku

Senin, 1 Juli 2019 – Hari Biasa Pekan XIII

285

Matius 8:18-22

Ketika Yesus melihat orang banyak mengelilingi-Nya, Ia menyuruh bertolak ke seberang. Lalu datanglah seorang ahli Taurat dan berkata kepada-Nya: “Guru, aku akan mengikut Engkau, ke mana saja Engkau pergi.” Yesus berkata kepadanya: “Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya.”

Seorang lain, yaitu salah seorang murid-Nya, berkata kepada-Nya: “Tuhan, izinkanlah aku pergi dahulu menguburkan ayahku.” Tetapi Yesus berkata kepadanya: “Ikutlah Aku dan biarlah orang-orang mati menguburkan orang-orang mati mereka.”

***

Kisah Injil hari ini kiranya menelanjangi hidup panggilan kita sebagai murid-murid Yesus. Kita memilih untuk mengikut Yesus dengan berbagai ekspektasi yang besar, teristimewa karena kita sudah mendengar tentang hal-hal ajaib yang dilakukan oleh-Nya. Namun, sering kali kita lupa bahwa mengikut Yesus juga memiliki implikasi untuk mengalami penderitaan salib, sebab di balik kemegahan Yesus ada salib yang harus dipanggul. Persis di sinilah masalahnya. Kita tidak menghendaki salib yang melekat pada Yesus. Kita ingin melupakan salib dan meminta kemuliaan Yesus saja. Ketika hal yang kita inginkan tidak terjadi, kita pun perlahan-lahan melangkah mundur.

Mengikut seseorang selalu menuntut disposisi kerendahan hati untuk mengarahkan hati pada orang yang kita ikuti, termasuk di dalamnya memasrahkan diri kepada pribadi tersebut. Disposisi hati inilah yang terkadang dilupakan oleh kita sebagai pengikut Yesus. Kita sesungguhnya diajak untuk berpasrah dan percaya kepada penyelenggaraan kasih-Nya.

Ini mengingatkan saya pada kisah yang saya alami sendiri. Saat saya masih seorang frater, beberapa waktu sebelum tahbisan, ayah saya mengalami stroke. Saya merasa hal ini bisa menggagalkan tahbisan saya, sebab ada dorongan yang kuat untuk menemani orang tua. Namun, persis pada titik ini, saya kemudian disadarkan oleh ayah saya sendiri. Ia berkata, “Nak, kamu ini kan frater, tetapi mengapa seperti kurang beriman. Tidak usah khawatir sama Bapak. Bapak masih punya Tuhan yang menemani Bapak. Tuhan selalu menemani Bapak. Tetaplah teguh dan percaya pada Tuhan atas panggilanmu.” Perkataan itu seolah menampar saya dengan keras. Sebagai frater saya sudah belajar banyak hal, tetapi soal iman, ayah ternyata lebih paham. Sejak saat itu, saya sadar bahwa kepasrahan diri adalah bentuk iman di dalam mengikut Yesus.

Mari kita bertanya pada diri kita masing-masing, sudahkah kita sungguh-sungguh berpasrah diri kepada Tuhan di dalam menjalankan panggilan untuk mengikut Dia?