Belajar Tidak Takut

Selasa, 2 Juli 2019 – Hari Biasa Pekan XIII

142

Matius 8:23-27

Lalu Yesus naik ke dalam perahu dan murid-murid-Nya pun mengikuti-Nya. Sekonyong-konyong mengamuklah angin ribut di danau itu, sehingga perahu itu ditimbus gelombang, tetapi Yesus tidur. Maka datanglah murid-murid-Nya membangunkan Dia, katanya: “Tuhan, tolonglah, kita binasa.” Ia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu takut, kamu yang kurang percaya?” Lalu bangunlah Yesus menghardik angin dan danau itu, maka danau itu menjadi teduh sekali. Dan heranlah orang-orang itu, katanya: “Orang apakah Dia ini, sehingga angin dan danau pun taat kepada-Nya?”

***

Para murid sudah sekian lama bersama-sama dengan Yesus yang adalah Mesias. Namun, mereka ternyata tetap kurang percaya dan takut atas keadaan yang tidak dikehendaki. Ketika badai menerjang perahu yang mereka tumpangi, mereka sangat ketakutan, padahal sang Mesias ada bersama mereka. Sikap yang ditunjukkan oleh para murid boleh dibilang sangat mengecewakan.

Bagaimana kita bisa bercermin dari kisah tersebut? Kisah di atas kiranya juga adalah kisah kita sebagai pribadi yang sudah sekian waktu menjadi pengikut Kristus. Yesus sudah bersama-sama dengan kita sejak lama, tetapi saat kita mengalami kesusahan dan tantangan, kita sering kali lupa bahwa Ia ada bersama kita.

Kesusahan dan tantangan di satu sisi memang membuat kita mengalami ketakutan, tetapi di sisi lain sebenarnya juga memurnikan cara kita beriman. Di dalam tantangan biasanya kita hanya melihat satu aspek saja, yakni kesusahan. Namun, jika dilihat dari sudut pandang yang lain, niscaya kita akan melihat karya Allah yang turut membentuk hidup kita.

Dalam sebuah retret, saya berjumpa dengan seorang anak SMA yang merasa dirinya bodoh. Ia merasa takut tidak bisa memenuhi ekspektasi orang tua yang sudah mengeluarkan banyak uang untuk membiayai sekolahnya. Anak ini melihat tindakan orang tua sebagai tuntutan yang harus dibalas dengan keberhasilan dalam bentuk nilai akademis. Syukurlah di akhir retret ia bisa melihat bahwa ekspektasi orang tua bukanlah itu. Ia diantar pada pemahaman baru bahwa orang tua adalah Christ-like baginya. Cinta bagi dirinya bermula dari keluarga. Meskipun terkadang ia membuat orang tua kecewa, mereka akan tetap mencintainya. Anak ini akhirnya melihat sebuah paradigma baru bahwa ia sungguh dicintai.

Mari kita bertanya pada diri kita masing-masing, apakah kita bersedia melihat segala sesuatu dengan paradigma kasih Tuhan di dalam diri kita?