Iman dan Belas Kasih

Kamis, 4 Juli 2019 – Hari Biasa Pekan XIII

228

Matius 9:1-8

Sesudah itu naiklah Yesus ke dalam perahu lalu menyeberang. Kemudian sampailah Ia ke kota-Nya sendiri. Maka dibawa oranglah kepada-Nya seorang lumpuh yang terbaring di tempat tidurnya. Ketika Yesus melihat iman mereka, berkatalah Ia kepada orang lumpuh itu: “Percayalah, hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni.” Maka berkatalah beberapa orang ahli Taurat dalam hatinya: “Ia menghujat Allah.” Tetapi Yesus mengetahui pikiran mereka, lalu berkata: “Mengapa kamu memikirkan hal-hal yang jahat di dalam hatimu? Manakah lebih mudah, mengatakan: Dosamu sudah diampuni, atau mengatakan: Bangunlah dan berjalanlah? Tetapi supaya kamu tahu, bahwa di dunia ini Anak Manusia berkuasa mengampuni dosa” — lalu berkatalah Ia kepada orang lumpuh itu –: “Bangunlah, angkatlah tempat tidurmu dan pulanglah ke rumahmu!” Dan orang itu pun bangun lalu pulang. Maka orang banyak yang melihat hal itu takut lalu memuliakan Allah yang telah memberikan kuasa sedemikian itu kepada manusia.

***

Seorang lumpuh dibawa kepada Yesus. Orang-orang yang membawa si lumpuh percaya bahwa Yesus sanggup menghadirkan pemulihan baginya. Iman yang kuat tersebut dihargai oleh Yesus. Ia pun berbelas kasihan dan tergerak menyembuhkan orang lumpuh itu. Dari kisah ini, saya merefleksikan bahwa ada relasi antara iman dan belas kasih Allah. Kedua hal itu bersinggungan satu dengan yang lain.

Saya teringat sebuah pengalaman akan seorang ibu yang tinggal di daerah kumuh di Navotas, Manila, Filipina. Secara materi, dia tidak memiliki apa-apa, selain rumah 2 x 2 meter dengan perabotan memasak seadanya dan tempat tidur di dekat dapur. Setiap pagi dan malam, si ibu selalu berdoa rosario. Ia sangat percaya bahwa Allah amat mencintainya.

Pengalaman live-in di rumahnya membuat saya tersadar bahwa beriman tidak ditentukan oleh pendidikan tinggi ataupun materi yang berlimpah. Yang membuat hidup beriman tumbuh adalah relasi yang intim dan perjumpaan personal seseorang dengan Tuhan. Relasi inilah yang membuat ibu tersebut sungguh dicintai Tuhan. Dari kacamata manusia, ia hidup penuh kekurangan, tetapi secara iman, ia sungguh berkelimpahan.

Bagaimana dengan hidup beriman kita? Apakah kita sungguh telah memiliki relasi yang intim dengan Tuhan? Mari kita masing-masing merenungkannya.