Hukum Memupuk Cinta Kasih

Jumat, 19 Juli 2019 – Hari Biasa Pekan XV

186

Matius 12:1-8

Pada waktu itu, pada hari Sabat, Yesus berjalan di ladang gandum. Karena lapar, murid-murid-Nya memetik bulir gandum dan memakannya. Melihat itu, berkatalah orang-orang Farisi kepada-Nya: “Lihatlah, murid-murid-Mu berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan pada hari Sabat.” Tetapi jawab Yesus kepada mereka: “Tidakkah kamu baca apa yang dilakukan Daud, ketika ia dan mereka yang mengikutinya lapar, bagaimana ia masuk ke dalam Rumah Allah dan bagaimana mereka makan roti sajian yang tidak boleh dimakan, baik olehnya maupun oleh mereka yang mengikutinya, kecuali oleh imam-imam? Atau tidakkah kamu baca dalam kitab Taurat, bahwa pada hari-hari Sabat, imam-imam melanggar hukum Sabat di dalam Bait Allah, namun tidak bersalah? Aku berkata kepadamu: Di sini ada yang melebihi Bait Allah. Jika memang kamu mengerti maksud firman ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, tentu kamu tidak menghukum orang yang tidak bersalah. Karena Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat.”

***

Kepada seseorang yang selama bertahun-tahun mempelajari hukum agama, sang Guru berkata, “Kunci untuk hidup baik adalah cinta, bukan agama atau hukum.” Kemudian ia menceritakan kisah berikut: ada dua orang pelajar yang merasa bosan dengan pelajaran agama. Yang satu kemudian mengusulkan untuk membolos saja.

“Bolos? Tetapi ayah kita akan menangkap kita dan memukul kita.”

“Kita balas memukul!”

“Apa? Memukul ayah? Apa kamu sudah gila? Apakah kamu lupa bahwa Allah memerintahkan kita untuk menghormati ayah dan ibu kita?”

“Benar! Nah, kalau begitu, kamu memukul ayahku dan aku memukul ayahmu.”

Kisah di atas dipetik dari buku Berbasa-basi Sejenak karya Anthony de Mello SJ. Diungkapkan di situ bahwa kasih adalah dasar utama dari kualitas hidup manusia. Agama dan aturan-aturannya adalah sarana yang membantu orang untuk bisa mewujudkan kasih. Namun, ketika hukum agama dilaksanakan tanpa dasar cinta kasih, yang akan terjadi adalah pembenaran atas tindak kejahatan.

Yesus mengkritik orang-orang Farisi yang menyalahkan para murid-Nya karena memetik bulir gandum pada hari Sabat. Para murid melakukan itu karena mereka sedang kelaparan. Itulah dasar Yesus membela mereka, sedangkan dasar yang dipakai orang-orang Farisi adalah hukum, sebab menurut hukum Taurat, orang Yahudi dilarang melakukan pekerjaan pada hari Sabat.

Pelaksanaan hukum Sabat dilihat oleh Yesus secara lebih mendalam. Dari pengalaman masa lalu, ada peristiwa di mana hukum agama “dilanggar” karena alasan yang lebih mulia, yakni kasih atas dasar kemanusiaan (yang dilakukan Daud) dan kasih atas dasar pelayanan (yang dilakukan oleh para imam). Yesus dengan itu menegaskan bahwa belas kasih adalah keutamaan tertinggi. Itulah juga yang dikehendaki Allah daripada sekadar mematuhi hukum atau melaksanakan ritual keagamaan. “Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan,” sabda Yesus.

Yesus tentu tidak bermaksud meniadakan hukum Sabat atau ritual keagamaan. Namun, hendaknya hukum dan ritual keagamaan semakin memupuk semangat cinta kasih orang-orang yang melakukannya. Dalam kenyataan, hukum dan ritual keagamaan sering hanya dijadikan patokan untuk menghakimi seseorang, dijadikan alat untuk menilai baik atau benarnya seseorang dalam hidup beragama. Hal ini persis seperti yang dilakukan oleh orang-orang Farisi. Bukankah demikian?