Satu Saja yang Perlu

Selasa, 8 Oktober 2019 – Hari Biasa Pekan XXVII

108

Lukas 10:38-42

Ketika Yesus dan murid-murid-Nya dalam perjalanan, tibalah Ia di sebuah kampung. Seorang perempuan yang bernama Marta menerima Dia di rumahnya. Perempuan itu mempunyai seorang saudara yang bernama Maria. Maria ini duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataan-Nya, sedang Marta sibuk sekali melayani. Ia mendekati Yesus dan berkata: “Tuhan, tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku.” Tetapi Tuhan menjawabnya: “Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil darinya.”

***

Kasihan Marta. Banyak pembaca Kitab Suci kurang bersimpati kepadanya setelah mereka membaca perikop di atas. Sepertinya di situ ia salah memilih peran ketika Yesus datang ke rumahnya; sepertinya di situ ia iri hati terhadap Maria yang duduk di dekat Yesus; sepertinya juga di situ ia dipersalahkan oleh Yesus karena “menyusahkan diri dengan banyak perkara.” Sedih sekali, sudah repot-repot menyediakan rumahnya bagi Yesus dan memasak aneka ragam hidangan bagi-Nya, Marta malah kita anggap seperti orang berdosa yang harus bertobat dan tidak perlu diteladani.

Sangat tidak tepat jika kita berkesimpulan bahwa perikop ini menampilkan pertentangan antara cara hidup kontemplatif (diwakili oleh tokoh Maria) dan cara hidup aktif (tokoh Marta). Lebih tidak tepat lagi jika kita berpikir bahwa Yesus rupanya lebih menyukai orang yang berdoa daripada bekerja. Akan lebih baik jika kita memusatkan perhatian pada diri Yesus yang berterima kasih atas penerimaan Marta bersaudara. Ia tidak menuntut hal-hal yang lain lagi yang lebih dari itu. Karenanya baiklah semua orang – Marta, Maria, dan siapa saja yang ada di situ – menghentikan kesibukan mereka dan duduk dekat Yesus untuk mendengarkan Dia.

Undangan itu juga ditujukan kepada kita. Yesus gembira dan berterima kasih, kita sudah bersedia menerima Dia dalam hati kita masing-masing. Ia mensyukuri kehadiran kita. Keterbukaan dan kesediaan kita itu sudah cukup bagi-Nya. Ia tidak menuntut apa-apa lagi.

Satu saja yang perlu: kita diharapkan untuk senantiasa mendengarkan Dia dan melaksanakan yang diajarkan-Nya. Meskipun terdengar sederhana, sebenarnya itulah inti kemuridan yang sejati. Seorang murid yang sejati mendengarkan ajaran gurunya dan melaksanakan ajaran itu dalam kehidupan sehari-hari. Dengan begitu, nilai-nilai yang diajarkan sang guru dapat tersebar luas dan terwujud secara nyata dalam masyarakat.

Perikop ini rupanya menantang kita untuk bersikap demikian. Sanggupkah kita menjadi murid Yesus yang sejati, murid yang mendengarkan sabda-sabda-Nya dan melaksanakan itu semua dalam kehidupan kita sehari-hari?