Meminta Tanda

Senin, 14 Oktober 2019 – Hari Biasa Pekan XXVIII

158

Lukas 11:29-32

Ketika orang banyak mengerumuni-Nya, berkatalah Yesus: “Angkatan ini adalah angkatan yang jahat. Mereka menghendaki suatu tanda, tetapi kepada mereka tidak akan diberikan tanda selain tanda nabi Yunus. Sebab seperti Yunus menjadi tanda untuk orang-orang Niniwe, demikian pulalah Anak Manusia akan menjadi tanda untuk angkatan ini. Pada waktu penghakiman, ratu dari Selatan itu akan bangkit bersama orang dari angkatan ini dan ia akan menghukum mereka. Sebab ratu ini datang dari ujung bumi untuk mendengarkan hikmat Salomo, dan sesungguhnya yang ada di sini lebih daripada Salomo! Pada waktu penghakiman, orang-orang Niniwe akan bangkit bersama angkatan ini dan mereka akan menghukumnya. Sebab orang-orang Niniwe itu bertobat waktu mereka mendengarkan pemberitaan Yunus, dan sesungguhnya yang ada di sini lebih daripada Yunus!”

***

Bacaan Injil hari ini mengingatkan saya pada pengalaman setiap kali menemani para peserta retret di Civita Youth Camp. Mulai dari anak SD, SMP, dan SMA, semuanya berusaha mencari identitas diri mereka: who am I? Sebagai pendamping, saya memosisikan diri sebagai pihak ketiga yang adalah cermin dan petunjuk jalan. Allah dan diri sendirilah yang utama di dalam pergumulan itu.

Dalam suatu retret, sesi membaca surat dari orang tua dan membalas surat itu adalah sesi yang selalu menyentuh bagi saya sebagai pendamping. Terkadang anak-anak tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya sungguh-sungguh dicintai oleh orang tua mereka di dalam hidup sehari-hari. Cinta itu kerap kali tidak mereka sadari, sebab yang terutama diingat adalah orang tua yang marah, cerewet, dan sebagainya.

Surat dari orang tua menjadi tanda ungkapan kasih mereka terhadap anak. Ketika membacanya, anak-anak biasanya menitikkan air mata. Mereka mulai merasakan bahwa ayah dan ibu sungguh mencintai mereka. Setelah membaca surat itu, anak-anak menulis surat balasan yang intinya menyatakan bahwa mereka pun amat mencintai orang tua mereka.

Hari ini, melalui Injil Lukas, kita digambarkan laksana anak-anak yang kerap tidak menyadari kasih Allah yang sudah hadir di dalam pribadi Yesus. Kita terus-menerus meminta tanda kepada Allah. Jika Allah itu baik, demikian kita menuntut, hendaknya Dia memberikan tanda sesuai dengan yang kita inginkan. Apakah hal seperti itu patut dibenarkan?

Berkaca dari kisah anak-anak di Rumah Retret Civita dan dari bacaan Injil hari ini, saya ingin mengajak kita semua untuk lebih jeli melihat jejak-jejak atau karya Allah yang hadir di dalam diri kita. Mungkin selama ini kita yang tidak terlalu peka untuk menyadarinya. Mulai hari ini marilah kita memohon rahmat Tuhan agar diri kita dimampukan untuk menyadari kehadiran-Nya, sehingga dari waktu ke waktu kita tidak melulu meminta tanda dari-Nya.