Dosa Pertama

Minggu, 1 Maret 2020 – Hari Minggu Prapaskah I

127

Kejadian 2:7-9; 3:1-7

Ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup.

Selanjutnya TUHAN Allah membuat taman di Eden, di sebelah timur; disitulah ditempatkan-Nya manusia yang dibentuk-Nya itu. Lalu TUHAN Allah menumbuhkan berbagai-bagai pohon dari bumi, yang menarik dan yang baik untuk dimakan buahnya; dan pohon kehidupan di tengah-tengah taman itu, serta pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat.

Adapun ular ialah yang paling cerdik dari segala binatang di darat yang dijadikan oleh TUHAN Allah. Ular itu berkata kepada perempuan itu: “Tentulah Allah berfirman: Semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan?” Lalu sahut perempuan itu kepada ular itu: “Buah pohon-pohonan dalam taman ini boleh kami makan, tetapi tentang buah pohon yang ada di tengah-tengah taman, Allah berfirman: Jangan kamu makan ataupun raba buah itu, nanti kamu mati.” Tetapi ular itu berkata kepada perempuan itu: “Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat.” Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminya pun memakannya. Maka terbukalah mata mereka berdua dan mereka tahu, bahwa mereka telanjang; lalu mereka menyemat daun pohon ara dan membuat cawat.

***

Bacaan pertama hari Minggu Prapaskah I menyuguhkan cerita klasik yang sering disebut cerita tentang “dosa asal” atau “asal dosa.” Cerita tentang dosa manusia pertama ini diawali dengan gambaran tentang kebaikan Tuhan terhadap manusia. Manusia fana yang diciptakan dengan material yang sama dengan makhluk lainnya (yakni tanah) kini diberikan unsur pembeda, yakni napas Allah sendiri, yang memberikan kehidupan baginya. Setelah itu, Tuhan juga menciptakan lingkungan hidup yang indah dan nyaman untuknya, serta menyediakan pelbagai buah yang baik sebagai makanan. Lengkap sudah yang disiapkan Tuhan bagi manusia, yakni kehidupan, rumah, dan nafkah.

Godaan dari ular justru pertama-tama mau mengubah gambaran tentang Tuhan yang mahabaik tersebut. Fakta dibolak-balik oleh si ular: dari Tuhan yang memberikan dan mengizinkan semuanya (kecuali memakan buah dari satu pohon saja), menjadi Tuhan yang melarang semuanya. Tuhan mahabaik yang memberikan kebebasan diubahnya menjadi Tuhan otoriter yang suka melarang dan menghambat kebebasan manusia.

Meskipun sang perempuan awalnya mengoreksi pendapat si ular, tetapi ia melebihkan-lebihkan larangan Tuhan tentang buah di tengah kebun tersebut, “Jangan kamu makan ataupun raba buah itu, nanti kamu mati!” Firman Tuhan dikenang secara keliru. Perempuan itu membuka dirinya untuk digoda. Ular melihat hal itu dan terus memanfaatkannya. Maksud Tuhan dengan larangan tersebut diubah olehnya. Menurutnya, Tuhan mau membodohi manusia. Ia tidak mau disaingi oleh manusia. Memakan buah itu justru akan membuat manusia menjadi sama dengan Tuhan. Artinya, manusia akan tahu segala-galanya dan mempunyai kebebasan tanpa batas! Itulah godaan abadi bagi manusia.

Akhirnya perempuan itu jatuh ke dalam jebakan ular. Ia memakannya dan memberikan kepada suaminya “yang bersama-sama dengan dia.” Ternyata sang suami juga berada di situ! Dengan demikian, dosa pertama adalah dosa bersama, bukan hanya dosa si perempuan. Julukan “perempuan adalah pendosa pertama” pastilah berasal dari para pembaca pria!

Akibat dosa, mata mereka menjadi terbuka, tetapi bukan untuk “tahu tentang yang baik dan yang jahat” seperti yang dikatakan si ular, melainkan “tahu bahwa mereka telanjang.” Ketelanjangan yang sebelumnya menjadi simbol keterbukaan dan relasi yang tidak saling mengobjekkan sekarang menjadi sesuatu yang memalukan dan berbahaya. Akibatnya, mereka harus saling menutup dan mengamankan dirinya dengan cawat dari dedaunan. Mereka membuat pakaian sendiri, artinya ingin berdiri sendiri, terpisah dari Tuhan.

Cerita klasik ini mengajarkan kepada kita tentang inti dosa manusia, yakni tidak percaya dan tidak menghargai kasih Tuhan. Mengapa? Karena kita sering tidak mau menerima diri sebagai ciptaan-Nya yang terbatas. Kita mau hidup otonom, terpisah dari-Nya, dan tidak mau diatur oleh-Nya. Kita mau bebas tanpa batas!