Doa yang Sejati

Selasa, 3 Maret 2020 – Hari Biasa Pekan I Prapaskah

409

Matius 6:7-15

“Lagi pula dalam doamu itu janganlah kamu bertele-tele seperti kebiasaan orang yang tidak mengenal Allah. Mereka menyangka bahwa karena banyaknya kata-kata doanya akan dikabulkan. Jadi janganlah kamu seperti mereka, karena Bapamu mengetahui apa yang kamu perlukan, sebelum kamu minta kepada-Nya. Karena itu berdoalah demikian: Bapa kami yang di surga, Dikuduskanlah nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga. Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami; dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari yang jahat. [Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin.]

Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di surga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu.”

***

Sedekah, doa, dan puasa (Mat. 6:1-18) adalah tiga keutamaan atau praktik kesalehan agama Yahudi. Yesus mengandaikan praktik itu dilaksanakan oleh para pengikut-Nya, tetapi ketiganya harus ditempatkan pada maksud aslinya yang paling dalam, yaitu sebagai ungkapan atau perwujudan iman, bukan pameran.

Ketiganya secara harfiah disebut “kebenaran,” yaitu praksis hidup beriman yang sesuai dengan perjanjian. Tingkah laku manusia (pola laku dan ritual keagamaan) harus sesuai dengan kehendak dan tuntutan Allah agar semakin memajukan relasi manusia dengan sesama dan sang Pencipta. Dengan demikian, ketiganya harus dijalankan agar berkenan di hadapan Allah, bukan demi pengakuan manusia.

Doa menjadi tidak otentik kalau seseorang dengan sengaja mengeksploitasi sikap dan tempat berdoa, sehingga menjadi ajang pameran. Doa pribadi (di sini Yesus berbicara tentang doa pribadi, bukan ibadat jemaat) adalah ungkapan relasi personal dengan Allah, maka carilah tempat yang mendukung relasi intim dan pribadi dengan-Nya.

Fokus Yesus tentu tidak hanya lokasi, tetapi terutama disposisi batin. Allah melihat hati, bukan bungkus dan tampilan luar. Manusia harus masuk ke dalam dirinya agar dirinya yang otentik ditempatkan apa adanya di hadapan Bapa. Hanya dengan sikap batin seperti itu seseorang dapat secara jenih melihat dan mendengarkan rencana serta kehendak Bapa bagi dirinya dan dunia. Dalam relasi mendalam seperti itu, logika apalagi kuantitas kata-kata menjadi tidak relevan. Mengapa? Sebab Bapa sudah mengetahui apa yang paling kita butuhkan.

Setelah menegaskan inti dan prinsip doa yang benar, Yesus memberikan contoh doa sejati, yaitu doa “Bapa Kami.” Relasi personal dengan Allah terasa sejak kata pertama, saat kita menyapa Dia dengan “Bapa kami.” Yesus ingin agar semua pengikut-Nya juga mengalami kehangatan dan kedalaman relasi-Nya dengan Bapa. Menyebut Allah sebagai “Bapa” membuat kita merasa diterima dan didengarkan. Itulah atmosfer yang paling penting untuk memulai relasi, di mana kita mulai melihat seluruh proyek Allah: Dialah yang menguduskan nama-Nya, Dialah yang mewujudkan kerajaan-Nya, Dialah yang melaksanakan kehendak-Nya di surga dan bumi.

Bagaimana hal-hal itu secara konkret terjadi kini dan di sini? Itulah yang kita mohon agar terjadi di dunia ini, yaitu makanan, pengampunan, dan pembebasan dari yang jahat. Kekudusan nama-Nya terwujud saat kita ikut terlibat dalam proyek-Nya menyediakan makanan jasmani bagi kita dan dunia. Kerajaan-Nya mulai nyata saat kita berbagi makanan. Kehendak-Nya mulai terlaksana saat pengampunan yang kita terima dari-Nya kita bagi dan tularkan kepada sesama. Kehendak-Nya mulai terlaksana saat Ia menjaga kita dari pencobaan si jahat, sehingga kita pun berkomitmen secara nyata untuk memerangi aneka bentuk kejahatan dan kepalsuan dalam diri kita, dalam jemaat, dan dalam dunia.