Dalam perayaan Ekaristi, setelah doa umat, imam akan berkata, “Mari kita lanjutkan dengan persembahan.” Pada saat itulah umat yang tadinya berdiri akan kembali duduk di tempatnya masing-masing. Namun, suasana tidak langsung menjadi hening dan tenang, sebab umat kemudian tampak sibuk melakukan aktivitas khusus yang melibatkan tangan mereka. Ada yang pelan-pelan mengambil dompet di saku celana, lalu dengan teliti melihat-lihat isinya. Yang lain merogoh saku di baju, lalu menarik selembar uang yang sudah disiapkan di situ. Para ibu biasanya meraih dan mengaduk-aduk isi tas yang ditaruh dengan rapi di sebelah tempat duduk mereka.
Mempersiapkan uang untuk persembahan memang harus dilakukan dengan tenang dan hati-hati, sebab ada tertulis, “Jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu” (Mat. 6:3). Menaati nasihat tersebut, uang yang diambil dari saku maupun dompet biasanya langsung digenggam erat-erat, jangan sampai kelihatan oleh tangan kiri, apalagi oleh orang lain yang duduk di sebelah. Kehati-hatian perlu ditingkatkan kalau yang mau disumbangkan ternyata uang berwarna abu-abu. Rasanya kurang enak kalau tetangga sampai tahu bahwa kita cuma menyumbang dua ribu.
Sudah kena kutuk, tetapi masih juga menipu
Kalau ada yang bertanya mengenai jumlah total sumbangan yang kita berikan kepada Gereja dalam satu tahun, dengan segera kita akan merasa bahwa pertanyaan itu tidak etis. Sumbangan merupakan urusan personal. Apa urusan orang itu sehingga ingin mengetahuinya? Kalaupun kita tidak berkeberatan, pertanyaan tersebut tetap saja susah dijawab, sebab kita sendiri bisa jadi memang tidak tahu berapa jumlahnya. Minggu ini lembaran berwarna merah masuk ke kantong kolekte karena kita sedang berkelimpahan, tetapi minggu sesudahnya mungkin kita hanya bisa memberikan lembaran berwarna cokelat karena rezeki kita sedang seret. Apa perlu itu diingat, dicatat, dan dihitung?
Secara mengejutkan sejumlah pihak menegaskan bahwa sumbangan kita kepada Gereja memang harus dihitung. Jumlahnya harus pas sepersepuluh dari penghasilan kita. Mengapa harus begitu? “Sebab demikianlah firman Tuhan,” jawab mereka. Siapa saja yang sampai hati tidak membayar persepuluhan harus membaca Mal. 3:6-12 yang berkisah tentang kemarahan Tuhan karena merasa ditipu dan dirampok oleh orang Israel. Mereka menipu Tuhan karena tidak membayar persepuluhan, sehingga Ia sampai berseru, “Kamu telah kena kutuk, tetapi kamu masih menipu Aku!” (Mal. 3:9). Membayar persepuluhan menyenangkan hati Allah. Ia akan membalasnya dengan menurunkan hujan, membuat panenan berhasil, serta menjauhkan ladang dari serangan hama. Bagaimana dengan orang-orang pelit yang enggan membayar persepuluhan? Bencana besar dan kesialan sepanjang tahun sudah menunggu mereka.
Disodori Mal. 3:6-12, mereka yang rajin memasukkan koin ke kantong kolekte jadi merasa bersalah dan tidak enak hati. Ternyata Tuhan tidak berkenan dengan persembahan itu dan bahkan merasa tertipu. Di lain pihak, mereka yang sering menyumbang banyak ternyata juga merasa tidak tenang. Ada kegelisahan jangan-jangan sumbangan mereka belum mencapai persis sepuluh persen. Mereka takut jika karena itu Tuhan lalu menutup keran rezeki dan berkat yang seharusnya mereka terima.
Demikianlah Mal. 3:6-12 menimbulkan kegaduhan karena dipakai untuk mengancam dan menekan orang. Baiklah perikop ini dipahami dengan tepat agar tidak menimbulkan salah sangka dan salah paham yang tidak perlu.
(Bersambung)