Belajar dari keluarga Abraham
Bila orang hanya sekilas membaca kisah ini, ia akan segera menyimpulkan bahwa Tuhan membiarkan praktik kekerasan dalam rumah tangga. Ada dua hal yang segera membawa orang pada kesimpulan tersebut.
Pertama, Tuhan menyuruh Hagar, yang telah melarikan diri dari rumah Abraham karena penindasan Sara, kembali ke dalam kekuasaan nyonyanya dan membiarkan dirinya ditindas oleh sang nyonya.
Kedua, Tuhan sama sekali tidak menghukum Sara dan Abraham yang telah menindas dan mengusir Hagar, padahal ia adalah istri Abraham sekalipun sebelumnya adalah budak.
Namun benarkah demikian? Allah berdiri di pihak kaum tertindas. Hal ini tidak selalu berarti harus menghukum pihak yang menindas. Allah menyediakan jalan bagi Hagar yang telah menjadi korban penindasan. Bagi Hagar dan anaknya, Allah telah menyiapkan sebuah rencana. Hagar akan memiliki peran yang sama dengan yang dipegang Sara, yakni menjadi ibu sejumlah besar bangsa. Bagaimanapun juga Hagar adalah bagian dari keluarga Abraham, dan anak Hagar adalah anak Abraham.
Jelas bahwa dalam setiap bentuk penindasan yang disertai dengan kekerasan (baik fisik maupun psikologis), pelakunya adalah pihak yang kuat, sedangkan korbannya adalah pihak yang lemah. Kekerasan dalam keluarga bisa dilakukan oleh suami terhadap istri dan anak-anaknya, atau oleh seorang ibu terhadap anak-anaknya. Dalam kasus poligami, istri yang disayang oleh suami dapat melakukan kekerasan terhadap istri lain yang tidak disayang oleh suaminya. Namun, bisa terjadi juga bahwa seorang istri menindas suaminya, terutama secara mental. Hal ini misalnya terjadi bila si istri memiliki penghasilan lebih besar daripada penghasilan suaminya. Orang tua dapat juga menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh anak-anaknya.
Abraham tidak dapat menjaga keharmonisan keluarganya. Ia tidak sanggup menciptakan kenyamanan dalam rumah tangga. Hal inilah yang menyebabkan ada anggota keluarga yang merasa tidak nyaman tinggal di dalamnya, lalu terdorong untuk meninggalkan rumah. Berbagai bentuk kekerasan yang dilakukan, baik secara mental maupun secara fisik, jelas menimbulkan ketidaknyamanan di dalam rumah, yang hanya akan berakhir dengan perpecahan dalam keluarga. Bagaimanapun juga setiap anggota keluarga, sesuai dengan peran masing-masing, bertanggung jawab atas kenyamanan dalam keluarganya. Semakin kuat seorang anggota keluarga, entah itu ayah, ibu, maupun anak, semakin besar pula tanggung jawabnya untuk menciptakan suasana nyaman dalam keluarga.***
Daftar Pustaka
Brueggeman, W. Genesis. Atlanta: John Knox Press, 1973.
Darmawijaya, St. Pentateukh atau Taurat Musa. Yogyakarta: Kanisius, 1991.
Leks, Stefan. Kejadian. Ende: Nusa Indah, 1977.
The Pentateuch. The Navarre Bible. Dublin: Four Court Press, 2000.