Mengambil Risiko

Senin, 11 Desember 2017 – Hari Biasa Pekan II Adven

177

Lukas 5: 17-26

Pada suatu hari ketika Yesus mengajar, ada beberapa orang Farisi dan ahli Taurat duduk mendengarkan-Nya. Mereka datang dari semua desa di Galilea dan Yudea dan dari Yerusalem. Kuasa Tuhan menyertai Dia, sehingga Ia dapat menyembuhkan orang sakit. Lalu datanglah beberapa orang mengusung seorang lumpuh di atas tempat tidur; mereka berusaha membawa dia masuk dan meletakkannya di hadapan Yesus. Karena mereka tidak dapat membawanya masuk berhubung dengan banyaknya orang di situ, naiklah mereka ke atap rumah, lalu membongkar atap itu, dan menurunkan orang itu dengan tempat tidurnya ke tengah-tengah orang banyak tepat di depan Yesus. Ketika Yesus melihat iman mereka, berkatalah Ia: “Hai saudara, dosamu sudah diampuni.” Tetapi ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi berpikir dalam hatinya: “Siapakah orang yang menghujat Allah ini? Siapa yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah sendiri?” Akan tetapi Yesus mengetahui pikiran mereka, lalu berkata kepada mereka: “Apakah yang kamu pikirkan dalam hatimu? Manakah lebih mudah, mengatakan: Dosamu sudah diampuni, atau mengatakan: Bangunlah, dan berjalanlah? Tetapi supaya kamu tahu, bahwa di dunia ini Anak Manusia berkuasa mengampuni dosa” — berkatalah Ia kepada orang lumpuh itu –: “Kepadamu Kukatakan, bangunlah, angkatlah tempat tidurmu dan pulanglah ke rumahmu!” Dan seketika itu juga bangunlah ia, di depan mereka, lalu mengangkat tempat tidurnya dan pulang ke rumahnya sambil memuliakan Allah. Semua orang itu takjub, lalu memuliakan Allah, dan mereka sangat takut, katanya: “Hari ini kami telah menyaksikan hal-hal yang sangat mengherankan.”

***

Ketika membaca buku Ekaristi: Meneguhkan Iman, Membangun Persaudaraan, Menjiwai Pelayanan karya Mgr. Ignatius Suharyo (Yogyakarta: Kanisius, 2011), saya menemukan di dalamnya sebuah kisah di balik salah satu relief di sudut Candi Borobudur.

Yang tergambar dalam relief itu adalah seseorang yang memegang tongkat dan berdiri agak bongkok. Di hadapannya ada empat binatang, yakni kera yang membawa pisang, berang-berang yang membawa ikan, serigala yang membawa mangkok, dan kelinci yang tidak membawa apa pun.

Mgr. Suharyo menulis: Di balik relief itu, ada kisah manusia yang ingin menjadi sempurna. Dalam pencariannya, dia berubah rupa menjadi kelinci, dan dalam pengembaraannya ia mendapat teman kera, berang-berang, dan serigala. Pada suatu ketika, keempat binatang ini berjumpa dengan seorang pengembara yang tampak letih, lapar, dan haus. Mereka berhenti di hadapan pengembara itu dan satu demi satu mulai berbicara.

Kera berkata, “Bapak kelihatan lapar. Makanlah pisang yang saya bawa ini, Bapak akan lebih kuat.” Berang-berang juga berkata, “Bapak, saya juga punya ikan. Ambillah ini, makanlah, dan Bapak akan lebih kuat lagi.” Serigala tidak mau ketinggalan dan berkata, “Bapak, tidak cukup makan pisang dan ikan. Saya juga membawa semangkok susu. Minumlah, Bapak akan lebih segar lagi.”

Tinggalah si kelinci yang tidak membawa apa-apa di tangan. Akhirnya, ia berkata, “Bapak saya tidak membawa apa-apa seperti kawan-kawan saya. Oleh karena itu, tangkaplah saya, sembelihlah saya, masaklah saya, dan makanlah saya.”

Dari kisah di atas, Mgr. Suharyo menegaskan pesan bahwa kesempurnaan manusia terletak pada kerelaan untuk berkorban dan memberikan hidupnya. Yang bersangkutan dengan demikian berani untuk mengambil risiko dan melangkah keluar dari diri sendiri.

Dalam bacaan Injil hari ini, kita menemukan pula kisah manusia yang berani mengambil risiko demi berjumpa dengan Yesus. Belajar dari tulisan Kardinal Carlo Maria Martini (Carlo Maria Martini. Pemberita Injil. Yogyakarta: Kanisius, 1988), saya mengajak Anda untuk melihat ajaran yang terkandung dalam perikop di atas.

Beberapa orang mengambil risiko ditertawakan oleh orang-orang di sekeliling mereka. Orang-orang itu membuka atap rumah dan menurunkan orang yang sakit tanpa mengetahui apakah Yesus mau menerimanya atau tidak. Mereka mengharapkan mukjizat dari Yesus. Jika hal itu tidak terjadi, orang lumpuh itu tentulah akan mati, dan mereka yang membopongnya akan memperoleh malu yang tidak terhingga.

Di sini ada suatu tindak keberanian mengambil risiko. Kepercayaan kepada Yesus yang belum sungguh mereka kenal mendorong mereka untuk keluar dari diri sendiri, menyerahkan hidup kepada-Nya. Hasilnya, keadaan orang itu dibalikkan sama sekali: dosa-dosanya diampuni dan sakitnya disembuhnya. Di sini Kardinal menunjukkan bahwa Yesus adalah Dia yang mengampuni dan menyembuhkan. Menurutnya, Injil adalah kekuatan pengampunan dan penyembuhan untuk mereka yang mempercayakan diri kepada Yesus, yang berani mengambil langkah teguh dan “melemparkan” diri kepada-Nya.

Selanjutnya Kardinal menulis demikian, “Di dalam diri manusia, ada kecenderungan kodrati untuk percaya, untuk keluar dari dirinya melalui satu tindak kepercayaan kepada orang lain. Dari situ lahirlah masyarakat, persahabatan, kasih, dan persaudaraan. Kalau tidak ada seorang pun yang berani mengambil risiko, tidak lahir apa pun juga. Dalam kepercayaan seperti itu kepada firman Yesus lahirlah kemungkinan keselamatan. Hanya pada saat keberanian, saat melangkah keluar dari diri sendiri, kita berhasil mencapai apa yang sedalam-dalamnya kita rindukan.”