Menerima Usia Lanjut pada Zaman Alkitab dan Sekarang (4)

164

Jalan kegelapan?

Meskipun tidak ditentukan oleh angka kronologis, perubahan fisik dan psikis pada suatu saat berangsur-angsur datang. Bersama Henry Nouwen dan Walter J.Gaffney (1976, 25-51), kita dapat  bertanya: apakah umur lanjut bukan suatu jalan masuk ke dalam kegelapan? Ataukah suatu jalan menuju terang?

“Kebanyakan umat manusia,” tulis Simone de Beauvoir, “memandang kedatangan umur tua dengan kesedihan dan pemberontakan. Mereka tidak menyukainya melebihi kematian.” (The Coming of Age, 1972, p. 77). Pandangan pesimistis filsuf Perancis ini bukan hal yang baru. Pemazmur sudah mengeluh: “Kasihanilah aku, ya TUHAN, sebab aku merasa sesak;
karena sakit hati mengidaplah mataku, meranalah jiwa dan tubuhku. Sebab hidupku habis dalam duka dan tahun-tahun umurku dalam keluh kesah; kekuatanku merosot karena sengsaraku, dan tulang-tulangku menjadi lemah. Di hadapan semua lawanku aku tercela, menakutkan bagi tetangga-tetanggaku, dan menjadi kekejutan bagi kenalan-kenalanku;
mereka yang melihat aku di jalan lari dari padaku. Aku telah hilang dari ingatan seperti orang mati, telah menjadi seperti barang yang pecah” (Mzm. 31:9-12).

Juga dalam masyarakat kita ada orang lansia yang merasa dilupakan dan dianggap sebagai “barang yang dibuang.” Setelah pensiun, mereka merasa dikucilkan dari dunia kerja yang produktif untuk masyarakat dan keluarga. Mereka tidak lagi mempunyai penghasilan sendiri. Bekerja dengan hasil nyata lebih dihargai daripada hidup dan ada. Juga kesibukan-kesibukan yang bersifat sukarela tidak membawa mereka pada apresiasi dan gengsi yang sama. Dalam rasa isolasi itu, orang lansia tergoda untuk ngotot dalam posisinya yang lama dengan pandangannya yang lama pula. Akan tetapi, itu hanya memperbesar jurang pemisah dan risiko bahwa akan ditolak. Bisa jadi anak cucu akan berusaha menghindari konflik tentang hal-hal itu, tetapi itu pun akan menciptakan suatu dunia komunikasi yang semu. Keterpisahan ini dapat memberi orang lansia perasaan sebagai orang yang cuma bertahan tetapi tidak diinginkan.

Rasa terkucil ini dapat menjadi kesedihan. Isolasi menjadi desolasi yang kemudian diperkuat oleh hilangnya lingkaran teman yang terus mengecil dan sulit diperluas lagi. Orang lansia didahului oleh sahabat-sahabat yang paling dekat dan tidak tergantikan. Orang harus melanjutkan perjalanan hidup sendirian tanpa dapat berbagi pengalaman seperti dulu. Teman-teman yang masih ada juga makin sulit dijumpai. Orang pun merasa ditinggalkan oleh teman-teman mereka, dan pengalaman ini lebih berat daripada merasa ditolak dalam masyarakat.

Isolasi dan desolasi dapat mengakibatkan alienasi. Keterpisahan dari masyarakat produktif dan kesedihan makin kehilangan teman dapat menyebabkan orang juga kehilangan dirinya sendiri, kehilangan harga diri. Ia pun bisa jadi akhirnya menolak dirinya sendiri yang tua. Tidak puas dengan yang sedang dialami dan hanya melihat kegelapan di depan, manusia itu terasing dari dirinya. Ia hanya dapat mengidentifikasi diri dengan masa lampau, dengan dirinya sebagai manusia yang pernah berprestasi, dengan harga diri yang ditentukan oleh mutu lingkaran pertemanan. Hidupnya menjadi pahit, asam, marah, dendam, iri, tanpa harapan dan kreativitas. Bila isolemen sosial dan desolasi kehilangan teman membawa alienasi (loss of inner self) yang demikian, hari tua memang suatu jalan masuk ke dalam kegelapan.

(Bersambung)