Nebukadnezar: Raja Asyur atau Raja Babel? (6)

“Pada tahun kedua belas pemerintahan Nebukadnezar, yang menjadi raja orang Asyur di Niniwe, kota yang besar, Arfaksad menjadi raja atas orang Media di Ekbatana” (Ydt. 1:1)

1554

Penutup

“Nebukadnezar, raja orang-orang Asyur” dihadirkan oleh penyusun kitab Yudit dengan bertitik tolak pada tokoh sejarah yang benar-benar ada, yakni Nebukadnezar, raja Babel. Mendengar tentang sang raja Asyur, pembaca diharapkan teringat akan sosok sang raja Babel yang hebat dan gagah perkasa.[1] Sebagaimana orang itu, “Nebukadnezar, raja orang-orang Asyur” adalah juga sosok yang agung dan tidak terkalahkan. Kehadirannya mengancam keselamatan bangsa-bangsa di dunia, termasuk umat Tuhan. Akankah umat Tuhan yang lemah dan tidak berdaya sanggup menghadapinya?

Kehadiran “Nebukadnezar, raja orang-orang Asyur” merupakan peringatan pertama bagi pembaca kitab Yudit agar tidak memandang kitab ini sebagai laporan sejarah. Sejak awal harus kita pahami bahwa kita sedang berhadapan dengan kisah pengajaran. Orang Yahudi abad 2 SM sebagai pembaca pertama kitab Yudit kiranya menangkap pesan itu dengan baik. Mengingat sejarah pahit di masa lalu, mereka tentunya mengenal kerajaan Asyur dan Babel. Asyur adalah kerajaan yang menghancurkan wilayah utara (kerajaan Israel) pada tahun 721 SM (lih. 2Raj. 17:1-6), sedangkan Babel di bawah pimpinan Nebukadnezar melakukan hal yang sama terhadap wilayah selatan (kerajaan Yehuda) tahun 586 SM (lih. 2Raj. 24-25).

Dengan menampilkan “Nebukadnezar, raja orang-orang Asyur,” penyusun kitab Yudit agaknya sengaja mengacaukan sejarah dengan maksud menciptakan ironi, mungkin juga sedikit humor. Akan sangat menyenangkan kalau dua kerajaan yang mereka anggap jahat itu disatukan dalam diri seseorang yang bernama “Nebukadnezar, raja orang-orang Asyur.” Dia ini raja yang mahahebat, raja yang mengadakan penaklukan di mana-mana, tetapi akhirnya kalah di tangan seorang perempuan. Dalam pandangan masyarakat pada masa lalu, kekalahan ini sungguh tragis dan memalukan.***

Daftar Pustaka

Craghan, John. Esther, Judith, Tobit, Jonah, Ruth. Old Testament Message, vol. 16. Delaware: Michael Glazier, 1982.

Craghan, John, dan Jerome Kodell. Tobit, Yudit, Barukh. Tafsir Deuterokanonika, vol. 1. Yogyakarta: Kanisius – Lembaga Biblika Indonesia, 1990.

Enslin, Morton S. The Book of Judith. Jewish Apocryphal Literature, vol. VII. Philadelphia: Dropsie University, 1972.

Groenen, C. Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama. Yogyakarta: Kanisius, 1992.

Millard, Alan. “Judith, Tobit, Ahiqar and History.” Dalam New Heaven and New Earth: Prophecy and the Millennium: Essays in Honour of Anthony Gelston, ed. J.P. Harland dan C.T.R. Hayward. Leiden: Brill, 1999.

Moore, Carey A. Judith. New York: Doubleday, 1985.

Nowell, Irene. “Yudit.” Dalam Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, ed. Dianne Bergant dan Robert J. Karris. Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Wills, Lawrence M. “The Book of Judith,” dalam The New Interpreter’s Bible, vol. III. Nashville: Abingdon Press, 1999.

[1] Hal yang sama terjadi pada Holofernes dan Bagoas. Keduanya adalah tokoh sejarah, yakni panglima dan pegawai Artahsasta III, raja Persia. Dua nama ini “dipinjam” oleh penyusun kitab Yudit, dijadikan nama bagi tokoh-tokoh yang berbeda dari aslinya. Dengan perkiraan bahwa kitab Yudit ditulis sekitar tahun 100 SM, kita dapat memperkirakan asal-usul pernyataan “Nebukadnezar, raja orang-orang Asyur.” Pada masa-masa itu, Asyur sering dipakai untuk melambangkan Siria. Jadi, “Nebukadnezar, raja orang-orang Asyur” tampaknya merupakan sindiran untuk Antiokhus, raja Siria. Antiokhus adalah raja yang dikalahkan para Makabe. Kemenangan ini merupakan tonggak kemerdekaan bagi orang Yahudi pada saat itu.