Kecintaan Melahirkan Ketekunan, Ketekunan Membawa pada Pengetahuan

Mengenang dan Belajar dari Rm. Berthold Anton Pareira O.Carm. (13 Juni 1939 – 8 Januari 2021)

285

Ketika mendengar kabar bahwa Romo Pareira meninggal dunia, ingatan saya tertuju ke dalam ruang kelas ketika saya menjadi mahasiswa di STFT Widya Sasana, Malang. Saya teringat bagaimana beliau berdiri di depan kelas dan mengajar beberapa mata kuliah Perjanjian Lama. Beliau mengingat nama semua mahasiswa dan selalu membuat suasana kelas menjadi hidup. Beliau juga selalu tampak bersemangat, tidak pernah tampak lesu ketika mengajar.

Ketika mengajar, Romo Pareira hampir tidak pernah duduk di kursi. Ia selalu berdiri dan berjalan kian kemari. Suaranya keras, sehingga terdengar di seluruh sudut ruangan. Cara berbicaranya pun sangat ekspresif. Beliau bisa membuat para mahasiswa tertegun mendengarkan apa yang diajarkannya. Para mahasiswa sering kali dibuat tertawa karena beliau mengajar disertai dengan canda-canda yang tentunya tidak keluar dari konteks pembicaraan. Ketika menggambarkan tingginya orang-orang raksasa di Kanaan, misalnya, dengan wajah dan nada serius beliau berkata, “Di depan orang-orang Kanaan, kita hanya setinggi lutut mereka.” Para mahasiswa pun seketika menyambutnya dengan tawa. Romo Pareira setia dengan bahasa Indonesia, tidak pernah menggunakan istilah-istilah dari bahasa Inggris. Beliau memang sengaja melakukan hal itu. Kalaupun menggunakan bahasa asing, yang digunakan hanyalah istilah-istilah dari bahasa Ibrani atau Yunani.  

Ada satu hal lain yang sangat menarik perhatian saya berkaitan dengan cara Romo Pareira mengajar. Beliau tidak pernah membawa, membuka, apalagi membaca buku referensi di depan kelas. Beliau menyampaikan penjelasan yang mengalir lancar disertai interaksi dengan para mahasiswa. Pengetahuan yang luas dan mendalam tersimpan di dalam pikiran, sehingga beliau dapat memberikan pemaparan tentang suatu materi tanpa jeda. Para mahasiswa tidak perlu menunggu beliau mengingat atau mencari sesuatu dari buku. Bagi saya, hal ini jelas menunjukkan proses belajar yang disertai dengan cinta akan bidang yang dipelajarinya. Sebagai mahasiswa, saya memang tidak pernah melihat bagaimana beliau belajar, tetapi di kemudian hari, saya dapat mengerti proses belajar untuk sampai pada tingkat keahlian seperti yang beliau capai. Apa yang diterima dan dinikmati oleh para mahasiswa di kelas merupakan hasil proses belajar yang beliau lewati, yang diwarnai dengan ketekunan dan cinta akan ilmu.

Bagi saya, Romo Pareira memberikan teladan untuk mencintai ilmu tentang Kitab Suci dan untuk mempelajarinya dengan tekun. Kecintaan melahirkan ketekunan, dan ketekunan membawa orang pada pengetahuan yang lebih luas dan mendalam akan Kitab Suci. Tidak mungkin orang bisa berkata, “Saya sudah cukup belajar tentang Kitab Suci,” sebab pengetahuan akan Kitab Suci memang tidak ada batasnya. Yang menikmati buah dari ketekunan Romo Pareira mempelajari Kitab Suci bukan hanya beliau sendiri, melainkan juga semua orang yang belajar dari beliau, serta orang-orang yang belajar dari para murid beliau.

Pada akhirnya, saya mengutip kata-kata dari Yesus bin Sirakh, sang guru hikmat, mengenai kerja keras dalam belajar, yang kiranya tepat menggambarkan diri Romo Pareira: “Sungguh, aku tidak berjerih payah untuk diriku melulu, tetapi untuk semua orang yang mencari kebijaksanaan” (Sir. 24:34).