Yohanes 18:1 – 19:42*

Sesudah itu, karena Yesus tahu, bahwa segala sesuatu telah selesai, berkatalah Ia — supaya genaplah yang ada tertulis dalam Kitab Suci –: “Aku haus!” Di situ ada suatu bekas penuh anggur asam. Maka mereka mencucukkan bunga karang, yang telah dicelupkan dalam anggur asam, pada sebatang hisop lalu mengunjukkannya ke mulut Yesus. Sesudah Yesus meminum anggur asam itu, berkatalah Ia: “Sudah selesai.” Lalu Ia menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya.

* Berhubung bacaan yang sangat panjang, yang dimuat di sini hanya sebagian saja, yakni Yoh. 19:28-30.

***

Kadang saya berpikir bahwa Tuhan hanya hadir saat saya bahagia, sukses, dan mendapat banyak kemudahan hidup. Saat-saat ketika saya berada dalam kegelapan, menderita, dan merasa sakit, saya kerap mengeluh dan bertanya: Di mana Tuhan? Mengapa Ia meninggalkan saya seorang diri?

Hari ini, hari Jumat Agung, menjadi nyata bahwa Tuhan jelas-jelas hadir di tengah kegelapan, kesendirian, keheningan, dan kematian. Tuhan tidak hanya hadir dalam sukacita, melainkan juga dalam penderitaan. Tuhan tidak hanya hadir dalam terang, melainkan juga dalam kegelapan. Tuhan tidak hanya hadir dalam suara kemenangan, melainkan juga dalam suara kekalahan. Tuhan tidak hanya hadir dalam hidup, melainkan juga dalam kematian.

Pandanglah Yesus yang tergantung di kayu salib. Ia mengalami penderitaan, kegelapan, dan keheningan yang dalam. Ia dikhianati dan ditinggalkan oleh para murid-Nya. Ia ditolak dan dihukum oleh orang-orang-Nya sendiri. Ia sepertinya mengalami kehampaan dan kesendirian yang mengerikan. “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Daku?” Mengapa Ia berkata demikian?

Yesus bergulat dalam maut. Namun, Ia begitu tegar. Ia tidak menyerah. Di tengah penderitaan, sakit, kekacauan, dan dalam kematian, Yesus percaya bahwa Allah tidak akan meninggalkan-Nya. Allah tidak akan membiarkan-Nya binasa.

Yesus memeluk kegelapan, kesakitan, dan kesendirian. Ia memeluk malam karena yakin esok akan menyingsing. Ia percaya bahwa di tengah pengalaman yang mengerikan dan menyakitkan, Allah tidak pernah absen. Karena itu, Ia kemudian berseru, “Ke dalam tangan-Mu kuserahkan nyawa-Ku.” Benar! Allah tidak mengecewakan-Nya. Jumat Agung adalah jembatan menuju terang. Di saat kesedihan dan kesendirian sepertinya terentang, Paskah menyediakan terang.

Kadang sulit bagi saya untuk percaya bahwa Tuhan tersembunyi dalam diam. Sulit bagi saya untuk berserah diri dalam keterpurukan, penderitaan, sakit, kesendirian, dan kekecewaan. Namun, salib memberi saya kekuatan dan harapan bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan saya. Tuhan tidak pernah membiarkan saya sendirian. Pada salib Tuhan, saya temukan cinta yang sempurna. Cinta yang begitu besar telah Ia tunjukkan kepada saya, hamba yang hina dan berdosa ini.

“Terima kasih, Tuhan, atas cinta dan kehadiran-Mu dalam segala situasi hidupku.”