Siapa Kita?

Senin, 17 September 2018 – Hari Biasa Pekan XXIV

169

1 Korintus 11:17-26

Dalam peraturan-peraturan yang berikut aku tidak dapat memuji kamu, sebab pertemuan-pertemuanmu tidak mendatangkan kebaikan, tetapi mendatangkan keburukan. Sebab pertama-tama aku mendengar, bahwa apabila kamu berkumpul sebagai Jemaat, ada perpecahan di antara kamu, dan hal itu sedikit banyak aku percaya. Sebab di antara kamu harus ada perpecahan, supaya nyata nanti siapakah di antara kamu yang tahan uji. Apabila kamu berkumpul, kamu bukanlah berkumpul untuk makan perjamuan Tuhan. Sebab pada perjamuan itu tiap-tiap orang memakan dahulu makanannya sendiri, sehingga yang seorang lapar dan yang lain mabuk.

Apakah kamu tidak mempunyai rumah sendiri untuk makan dan minum? Atau maukah kamu menghinakan Jemaat Allah dan memalukan orang-orang yang tidak mempunyai apa-apa? Apakah yang kukatakan kepada kamu? Memuji kamu? Dalam hal ini aku tidak memuji. Sebab apa yang telah kuteruskan kepadamu, telah aku terima dari Tuhan, yaitu bahwa Tuhan Yesus, pada malam waktu Ia diserahkan, mengambil roti dan sesudah itu Ia mengucap syukur atasnya; Ia memecah-mecahkannya dan berkata: “Inilah tubuh-Ku, yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku!” Demikian juga Ia mengambil cawan, sesudah makan, lalu berkata: “Cawan ini adalah perjanjian baru yang dimeteraikan oleh darah-Ku; perbuatlah ini, setiap kali kamu meminumnya, menjadi peringatan akan Aku!” Sebab setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang.

***

Siapa kita? Indonesia. Bagi saya, slogan yang sangat populer ini bukan hanya untuk membangkitkan semangat dan kebanggaan, tetapi juga untuk menegaskan jati diri. Oleh karena itu saya juga ingin menggunakan slogan ini untuk menegaskan siapa kita (baca: jati diri) orang Katolik.

Paulus menegaskan bahwa jati diri pengikut Yesus adalah manusia ekaristis. Mengapa bisa demikian? Dan, apa maksudnya?

Dalam bacaan pertama hari ini (1Kor. 11:17-26), Paulus mengkritik liturgi jemaat di Korintus yang menyimpang dari makna dasar perjamuan Tuhan. Ketika mereka merayakan perjamuan Tuhan, terdapat pemisahan dan pembedaan di antara para jemaat. Ketidakpedulian dan keegoisan jemaat ditunjukkan secara gamblang oleh Paulus, “Pada perjamuan itu, tiap-tiap orang memakan dahulu makanannya sendiri, sehingga yang seorang lapar dan yang lain mabuk.” Perpecahan, pembedaan golongan, dan ketidakpedulian terhadap yang miskin inilah yang dikritik oleh Paulus sebagai suatu sikap yang jauh dari identitas pengikut Yesus, yakni manusia ekaristis.

Paulus meminta jemaat untuk mengingat tindakan Yesus dalam perjamuan malam terakhir. Saat itu, Yesus mengatakan, “Inilah tubuhKu, yang diserahkan bagi kamu,” dan, “Cawan ini adalah perjanjian baru yang dimeteraikan oleh darahKu.” Paulus ingin menggarisbawahi bahwa perpecahan di Korintus tersebut berlawanan dengan peringatan akan Yesus yang telah mengurbankan diri dan yang kematian-Nya diwartakan dalam liturgi perjamuan Tuhan. Bagi Paulus, liturgi perjamuan Tuhan (baca: Ekaristi) bukan sekadar ritual, tetapi perwujudan nyata jati diri pengikut Yesus. Dengan mengutip kata-kata Yesus, Paulus menekankan bahwa manusia ekaristis adalah orang yang memberikan dirinya bagi orang lain, orang yang mengorbankan diri bagi sesama.

Dari situ kita belajar bahwa Ekaristi bukan sekadar ritual liturgis. Ekaristi adalah jati diri orang Katolik. Setiap kali kita merayakan Ekaristi, kita merayakan dan menegaskan kembali siapa kita. Kita adalah manusia ekaristis. Kita adalah roti hidup yang siap dipecah-pecah dan diberikan bagi banyak orang. Hidup manusia ekaristis bukan untuk diri sendiri, tetapi demi tersebarnya kabar suka cita dan kasih.

Karena itu, setiap kali terlibat aktif dalam perayaan Ekaristi, marilah kita bertanya pada diri kita masing-masing: siapa kita?