Dikagumi, Lalu Ditolak

Rabu, 6 Februari 2019 – Peringatan Santo Paulus Miki dan Kawan-kawan

345

Markus 6:1-6

Kemudian Yesus berangkat dari situ dan tiba di tempat asal-Nya, sedang murid-murid-Nya mengikuti Dia. Pada hari Sabat Ia mulai mengajar di rumah ibadat dan jemaat yang besar takjub ketika mendengar Dia dan mereka berkata: “Dari mana diperoleh-Nya semuanya itu? Hikmat apa pulakah yang diberikan kepada-Nya? Dan mujizat-mujizat yang demikian bagaimanakah dapat diadakan oleh tangan-Nya? Bukankah Ia ini tukang kayu, anak Maria, saudara Yakobus, Yoses, Yudas dan Simon? Dan bukankah saudara-saudara-Nya yang perempuan ada bersama kita?” Lalu mereka kecewa dan menolak Dia. Maka Yesus berkata kepada mereka: “Seorang nabi dihormati di mana-mana kecuali di tempat asalnya sendiri, di antara kaum keluarganya dan di rumahnya.” Ia tidak dapat mengadakan satu mujizat pun di sana, kecuali menyembuhkan beberapa orang sakit dengan meletakkan tangan-Nya atas mereka. Ia merasa heran atas ketidakpercayaan mereka.

Lalu Yesus berjalan keliling dari desa ke desa sambil mengajar.

***

Dalam Injil Markus, kisah Yesus ditolak di Nazaret berada di belakang kisah penyembuhan perempuan yang sakit pendarahan dan tindakan Yesus yang membangkitkan anak Yairus (Mrk. 5:21-43). Iman memainkan peran penting dalam terjadinya dua mukjizat itu. Yang terjadi dalam bacaan Injil hari ini adalah kebalikannya. Orang-orang meremehkan Yesus, sehingga tidak ada mukjizat bagi mereka. Tragisnya, ini terjadi di kampung halaman Yesus sendiri.

Setelah berkeliling ke sejumlah tempat, suatu ketika Yesus pulang ke tempat asal-Nya, yakni Nazaret. Ia tidak sendirian berkunjung ke situ, melainkan disertai oleh para murid-Nya. Sebelumnya para murid telah melihat bagaimana guru mereka mengajar dengan penuh karisma dan melakukan sejumlah hal yang spektakuler (Mrk. 4 – 5). Sekarang mereka akan mendapatkan pelajaran berharga yang lain, yakni menyaksikan Yesus ditolak. Disebut berharga karena pada saatnya para murid juga akan mengalami hal itu. Karenanya, mereka harus bersiap menghadapinya sejak dini.

Di kampung halaman-Nya, acara Yesus tampaknya cukup padat. Pada hari Sabat Ia mengajar di rumah ibadat, dan tersirat juga bahwa Yesus sempat membuat sejumlah mukjizat. Rekan-rekan sekampung terpukau mendengar pembicaraan dan perbuatan-Nya. Akan tetapi itu cuma mula-mula. Arah angin cepat sekali berbalik. Orang-orang itu mendadak teringat pada status Yesus, yang hanya seorang tukang kayu. Mengingat hal itu, orang-orang Nazaret jadi kehilangan minat mendengarkan ajaran Yesus. Mereka enggan percaya pada-Nya.

Iman mendatangkan mukjizat. Sebaliknya, ketidakpercayaan menghalangi terjadinya mukjizat. Penolakan orang Nazaret membuat Yesus hampir-hampir tidak membuat mukjizat di situ. Untuk apa? Mereka bersikap seolah-olah tidak membutuhkannya. Meski Yesus berusaha memaklumi hal itu, Ia tetap saja merasa heran.

Penolakan orang Nazaret terhadap Yesus sungguh tidak bisa dimengerti. Mereka fokus pada status Yesus sebagai tukang kayu, pada latar belakang keluarga-Nya yang biasa-biasa saja. Namun, bukankah mereka mendengar sendiri ajaran-Nya yang penuh kuasa? Bukankah mereka menyaksikan sendiri karya besar yang Ia lakukan? Mengapa mereka tetap tidak mau percaya? Orang-orang Nazaret yang skeptis itu telah melewatkan kesempatan besar merasakan sapaan kasih Allah secara langsung. Maka, pesan bacaan ini bagi kita: bukalah selalu hati kita bagi karya-karya Allah yang datang menyapa kita dengan segala macam cara, yang paling remeh sekalipun.