Yang Baik versus Yang Jahat

Senin, 9 September 2019 – Hari Biasa Pekan XXIII

178

Lukas 6:6-11

Pada suatu hari Sabat lain, Yesus masuk ke rumah ibadat, lalu mengajar. Di situ ada seorang yang mati tangan kanannya. Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi mengamat-amati Yesus, kalau-kalau Ia menyembuhkan orang pada hari Sabat, supaya mereka dapat alasan untuk mempersalahkan Dia. Tetapi Ia mengetahui pikiran mereka, lalu berkata kepada orang yang mati tangannya itu: “Bangunlah dan berdirilah di tengah!” Maka bangunlah orang itu dan berdiri. Lalu Yesus berkata kepada mereka: “Aku bertanya kepada kamu: Manakah yang diperbolehkan pada hari Sabat, berbuat baik atau berbuat jahat, menyelamatkan nyawa orang atau membinasakannya?” Sesudah itu Ia memandang keliling kepada mereka semua, lalu berkata kepada orang sakit itu: “Ulurkanlah tanganmu!” Orang itu berbuat demikian dan sembuhlah tangannya. Maka meluaplah amarah mereka, lalu mereka berunding, apakah yang akan mereka lakukan terhadap Yesus.

***

Suatu ketika seseorang bertanya seperti ini, “Mengapa Allah tampaknya membiarkan kejahatan ada dan terjadi di dunia ini? Mengapa ketika kehendak untuk berbuat baik muncul, pikiran jahat juga muncul lalu membelokkan niat baik tersebut?”

Benarlah bahwa pertempuran antara yang baik dan yang jahat ada dan terjadi dalam kehidupan kita. Hal itu bahkan terjadi di dalam pikiran dan hati kita yang terdalam. Karena itu ada istilah diskresi atau pembedaan roh. Pilihan untuk berbuat baik menjadi bermakna dan bernilai di tengah pilihan-pilihan untuk berbuat jahat. Kita bukanlah robot yang diprogram untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu. Sebaliknya, kita adalah makhluk Allah yang istimewa. Kita mempunyai akal budi, hati nurani, dan kebebasan, sehingga dapat memilih mana yang baik dan mana yang jahat.

Dalam bacaan Injil hari ini, Yesus dihadapkan pada peraturan tentang hari Sabat. Dua pilihan disodorkan di sini, antara “peraturan untuk hidup manusia” atau “hidup manusia untuk peraturan.” Yesus jelas memilih yang pertama, sedangkan ahli-ahli Taurat dan orang Farisi memilih yang kedua.

Pikiran dan kehendak baik Yesus untuk menyelamatkan orang yang sakit berhadapan dengan pikiran dan kehendak jahat para lawan yang menomorsatukan peraturan. Mereka tidak peduli bahwa sikap mereka itu bisa membinasakan orang lain. Mengabaikan pihak-pihak yang mencari-cari kesalahan-Nya, Yesus terus memperjuangkan perbuatan-perbuatan baik. Yang baik harus terus diperjuangankan apa pun tantangannya. Karena itu, Ia kemudian bertindak menyembuhkan orang sakit itu.

Saudara-saudari yang terkasih, marilah kita berpikir sejenak: apakah aturan-aturan yang kita buat dalam kehidupan ini sungguh membebaskan kita? Ataukah aturan-aturan itu justru menghalangi kita untuk berbuat baik? Mari kita renungkan pula: apakah kehadiran kita mendukung terwujudnya hal-hal yang baik dari Allah sehingga menyelamatkan banyak orang? Ataukah kita justru menghalangi hadirnya karya keselamatan Allah? Selain itu, apakah kita punya keberanian untuk memperjuangkan hal yang baik seperti Yesus? Ataukah kita mudah terperangkap oleh ketakutan dan keinginan untuk mencari aman bagi diri sendiri?