Menghapus Kesedihan

Selasa, 17 September 2019 – Hari Biasa Pekan XXIV

145

Lukas 7:11-17

Kemudian Yesus pergi ke suatu kota yang bernama Nain. Murid-murid-Nya pergi bersama-sama dengan Dia, dan juga orang banyak menyertai-Nya berbondong-bondong. Setelah Ia dekat pintu gerbang kota, ada orang mati diusung ke luar, anak laki-laki, anak tunggal ibunya yang sudah janda, dan banyak orang dari kota itu menyertai janda itu. Dan ketika Tuhan melihat janda itu, tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan, lalu Ia berkata kepadanya: “Jangan menangis!” Sambil menghampiri usungan itu Ia menyentuhnya, dan sedang para pengusung berhenti, Ia berkata: “Hai anak muda, Aku berkata kepadamu, bangkitlah!” Maka bangunlah orang itu dan duduk dan mulai berkata-kata, dan Yesus menyerahkannya kepada ibunya. Semua orang itu ketakutan dan mereka memuliakan Allah, sambil berkata: “Seorang nabi besar telah muncul di tengah-tengah kita,” dan “Allah telah melawat umat-Nya.” Maka tersiarlah kabar tentang Yesus di seluruh Yudea dan di seluruh daerah sekitarnya.

***

Kisah Injil hari ini sangat dramatis dan menyentuh hati. Diceritakan, Yesus berjumpa dengan arak-arakan penuh duka. Serombongan orang mengantar jenazah seorang anak laki-laki. Ibunya, seorang janda, mengiringi kepergian anak satu-satunya itu dengan ratapan berurai air mata. Dalam masyarakat patriarkat, di mana segala sesuatu bergantung pada kaum laki-laki, janda termasuk dalam kategori kelompok orang lemah. Mereka kehilangan dukungan ekonomi dan sosial karena tidak ada suami lagi. Itulah yang juga dialami oleh janda dalam kisah ini. Dalam kondisi sebagai janda, anak laki-laki satu-satunya itu adalah sumber kebahagiaan dan pengharapan baginya. Jadi, bisa dibayangkan, betapa mendalam kesedihan yang ia alami akibat kematian anaknya itu.

Melihat keadaan janda itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan. Ia menyapa orang itu, menghibur, dan memberinya peneguhan. Kata-Nya, “Jangan menangis!” Yesus tidak berhenti pada kata-kata. Ia mendekati usungan, lalu menyentuh jenazah si pemuda. Para pengusung menghentikan langkah mereka dalam diam. Mungkin mereka terheran-heran melihat Yesus membiarkan diri-Nya najis dengan menyentuh orang yang sudah mati. Pastinya mereka lebih heran lagi ketika mendengar Yesus berkata, “Hai anak muda, Aku berkata kepadamu, bangkitlah” Seketika pemuda itu bangun, duduk, berkata-kata, dan bersua kembali dengan ibunya tercinta. Seperti orang Samaria yang murah hati dalam salah satu perumpamaan Yesus yang paling terkenal, Yesus sendiri tidak bisa begitu saja lewat ketika melihat kesengsaraan, kesedihan, dan penderitaan.

Ada banyak kesengsaraan, kesedihan, dan penderitaan di sekeliling kita. Kita bisa menemukannya di jalan-jalan, di pinggiran rel kereta api, atau di bawah jembatan. Kesedihan dialami oleh mereka yang terjerat utang, terjebak narkoba, juga oleh mereka yang dilecehkan dan disingkirkan. Mungkin pula malah kita sendiri yang berada dalam situasi itu. Betapa hebat kesendirian yang kita rasakan ketika tidak seorang pun mau peduli, ketika orang-orang di sekeliling kita – bahkan orang-orang yang awalnya dekat – berdiam diri, pergi, dan pura-pura tidak melihat kesusahan yang kita alami.

Itulah pula yang sesungguhnya dirasakan orang ketika kita tidak punya waktu untuk mereka, ketika kita memilih untuk menghindar dan tidak peduli terhadap masalah orang lain, ketika kita tidak berhenti, menghampiri, dan menyentuh dengan belas kasih orang yang perlu diangkat dari “usungan.”

Di Naim, Yesus mengubah dukacita seorang janda menjadi sukacita seluruh rakyat. Naim adalah tempat di mana kita hidup sekarang. Mari berbuat sesuatu, sebab melalui kita, Yesus ingin membawa penghiburan, belas kasihan, dan cinta ke dalam hidup orang-orang yang membutuhkannya.