Itu Kepunyaanku

Rabu, 6 November 2019 – Hari Biasa Pekan XXXI

92

Lukas 14:25-33

Pada suatu kali banyak orang berduyun-duyun mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya. Sambil berpaling Ia berkata kepada mereka: “Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, istrinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku. Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.

Sebab siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu? Supaya jikalau ia sudah meletakkan dasarnya dan tidak dapat menyelesaikannya, jangan-jangan semua orang yang melihatnya, mengejek dia, sambil berkata: Orang itu mulai mendirikan, tetapi ia tidak sanggup menyelesaikannya.

Atau, raja manakah yang kalau mau pergi berperang melawan raja lain tidak duduk dahulu untuk mempertimbangkan, apakah dengan sepuluh ribu orang ia sanggup menghadapi lawan yang mendatanginya dengan dua puluh ribu orang? Jikalau tidak, ia akan mengirim utusan selama musuh itu masih jauh untuk menanyakan syarat-syarat perdamaian. Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku.”

***

Dalam banyak tradisi kebudayaan ditemukan ajaran kebijaksaan yang sering kali mirip. Salah satunya ajaran tentang pentingnya melepaskan diri untuk mencapai kesejatian. Yesus pun menegaskan bahwa siapa pun yang hendak menjadi murid-Nya harus terus-menerus belajar untuk melepaskan diri dari kepemilikan. Ia berkata, “Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku.”

Saya menemukan cerita menarik berikut ini. Alkisah, seorang perempuan tua meninggal dan dibawa ke takhta penghakiman oleh para malaikat. Ketika sang Hakim memeriksa catatan, ternyata Ia hampir-hampir tidak dapat menemukan tindakan cinta kasih yang dilakukan oleh perempuan itu, kecuali bahwa yang bersangkutan pernah memberikan sebuah lobak kepada pengemis yang kelaparan.

Namun, kekuatan satu tindakan cinta ternyata sangat besar. Sang Hakim lalu memutuskan bahwa perempuan itu berhak masuk surga. Lobak yang dulu diberikan kepada pengemis kemudian dihadirkan di persidangan. Pada saat perempuan itu memegang lobak tersebut, ia pun mulai naik ke surga, seperti ditarik oleh penggerak yang tidak kelihatan.

Saat itu, datanglah seorang pengemis. Ia memegang ujung pakaian perempuan itu dan terangkat bersama dia. Orang lain datang, berpegangan pada kaki pengemis itu, dan ikut terangkat juga. Tidak menunggu lama, terbentuklah deretan panjang manusia yang terangkat ke surga oleh karena sebuah lobak. Hal itu tidak disadari oleh perempuan tua yang berpegangan pada lobak tersebut. Ia tidak merasa ada banyak orang yang bergantung padanya, sebab pandangannya terarah ke surga.

Ketika mendekati pintu gerbang surga barulah perempuan itu melihat ke bawah. Ia melihat deretan orang di belakangnya dan menjadi marah. Ia berteriak sambil melambaikan tangan, “Pergi, pergi semua kamu! Lobak ini kepunyaanku!” Saat itulah lobak terlepas dari genggaman tangannya. Ia beserta seluruh rombongan jatuh semua ke bumi dan gagal masuk ke surga.

Saudara-saudari sekalian, hanya satu penyebab dari setiap kejahatan di dunia ini, yakni anggapan bahwa “itu kepunyaanku.” Dalam Ajaran Sosial Gereja, ditegaskan bahwa hak milik bersifat sosial. Setiap pribadi manusia adalah makhluk sosial. Dengan kata “pribadi” diungkapkan bahwa setiap manusia memiliki martabat yang tidak dapat diganggu gugat. Dengan kata “sosial” disadari bahwa seorang manusia dapat bertahan hidup dan berkembang hanya dengan bantuan manusia lain. Menjadi manusia tidak hanya menuntut agar kita hidup dalam hubungan yang baik dengan Allah; kita juga harus hidup dalam hubungan yang baik dengan orang lain. Relasi ini dimulai dalam keluarga, dilanjutkan dalam lingkaran pertemanan, dan akhirnya dalam masyarakat secara keseluruhan.