Menghormati Gereja yang Suci

Senin, 9 November 2020 – Pesta Pemberkatan Gereja Basilik Lateran

153

Yohanes 2:13-22

Ketika hari raya Paskah orang Yahudi sudah dekat, Yesus berangkat ke Yerusalem. Dalam Bait Suci didapati-Nya pedagang-pedagang lembu, kambing domba dan merpati, dan penukar-penukar uang duduk di situ. Ia membuat cambuk dari tali lalu mengusir mereka semua dari Bait Suci dengan semua kambing domba dan lembu mereka; uang penukar-penukar dihamburkan-Nya ke tanah dan meja-meja mereka dibalikkan-Nya. Kepada pedagang-pedagang merpati Ia berkata: “Ambil semuanya ini dari sini, jangan kamu membuat rumah Bapa-Ku menjadi tempat berjualan.” Maka teringatlah murid-murid-Nya, bahwa ada tertulis: “Cinta untuk rumah-Mu menghanguskan Aku.” Orang-orang Yahudi menantang Yesus, katanya: “Tanda apakah dapat Engkau tunjukkan kepada kami, bahwa Engkau berhak bertindak demikian?” Jawab Yesus kepada mereka: “Rombak Bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali.” Lalu kata orang Yahudi kepada-Nya: “Empat puluh enam tahun orang mendirikan Bait Allah ini dan Engkau dapat membangunnya dalam tiga hari?” Tetapi yang dimaksudkan-Nya dengan Bait Allah ialah tubuh-Nya sendiri. Kemudian, sesudah Ia bangkit dari antara orang mati, barulah teringat oleh murid-murid-Nya bahwa hal itu telah dikatakan-Nya, dan mereka pun percayalah akan Kitab Suci dan akan perkataan yang telah diucapkan Yesus.

***

Bacaan Injil dalam rangka Pesta Pemberkatan Gereja Basilik Lateran hari ini menghadirkan Yesus sebagai pribadi yang menghormati Bait Allah. Kendati kata-kata dan tindakan Yesus di sini terkesan begitu keras, ada tujuan yang diperjuangkan oleh-Nya, yakni penghormatan terhadap Bait Allah.

Yesus menyadari bahwa Bait Allah memiliki fungsi fundamental dalam pembinaan hidup rohani. Inilah yang hendak dipertahankan-Nya, sehingga Ia mengusir para pedagang yang berjualan di situ. Ia tidak ingin Bait Allah menjadi tempat komersial, sebab tempat itu adalah tempat suci. Di Bait Allah, orang dapat menemukan Tuhan melalui doa-doa mereka. Tidak patut jika sarana rohani ini dipakai sebagai sarana untuk mendapatkan keuntungan finansial. Karena itu, Yesus berkewajiban menyucikan kembali Bait Allah. Konsekuensinya, Ia menghadapi penolakan. Mereka yang selama ini menikmati keuntungan finansial menolak tindakan-Nya sebab terancam menderita kerugian. Demikianlah, memperjuangkan kesucian memang bukan perkara mudah. Harus ada semangat dan kehendak yang benar-benar kuat agar tidak kandas di tengah jalan.

Saya punya pengalaman ketika masih menjadi frater. Di sebuah paroki, kami para frater hendak berjualan kaos dalam rangka mencari dana untuk membiayai program-program kegiatan kami. Untuk itu, kami meminta izin pada pihak paroki, juga pemimpin Ekaristi hari itu, yakni Bapa Uskup. Perayaan Ekaristi ini diselenggarakan dalam rangka tahbisan imam, sehingga akan dihadiri oleh perwakilan umat dari semua paroki sekeuskupan. Bapa Uskup memberi izin, tetapi dengan berat hati. Kami tidak tahu alasannya, sampai jawabannya kami temukan saat beliau memberi sambutan penutup. Bapa Uskup menegur kami, sebab sebagai calon imam, kami justru mengajarkan kepada umat kebiasaan “meng-komersil-kan” Gereja dan acara-acara di Gereja dengan cara berjualan. Beliau tidak menyetujui cara kami tersebut. Dari situ, kami semua menjadi sadar dan mulai mencari cara-cara baru kalau hendak mengadakan penggalangan dana.

Komersialisasi Gereja ternyata tidak hanya terjadi dalam pelayanan sakramental, tetapi juga bisa muncul dari hal-hal sederhana, yakni ketika kita datang ke Gereja tidak murni untuk berdoa, tetapi untuk melakukan transaksi layaknya sedang berbelanja di pasar. Ini mirip dengan rombongan peziarah yang datang ke gua Maria, lalu melancong dan berbelanja di tempat-tempat wisata. Berdoa rasa-rasanya bukan lagi menjadi tujuan yang murni, sebab sudah disertai dengan tujuan-tujuan yang sifatnya rekreatif.

Melalui bacaan Injil hari ini, mari kita belajar untuk menyucikan Gereja sembari juga menyucikan diri. Gereja yang suci terdiri dari kawanan umat yang juga suci: Suci dalam doa, dalam pikiran, dalam perbuatan, juga dalam pekerjaan. Kesucian harus kita usahakan dan kita perjuangkan secara sadar. Kesucian kita akan menentukan pula kesucian Gereja.