Kalau Engkau Mau

Kamis, 11 Januari 2018 – Hari Biasa Pekan I

159

Markus 1:40-45

Seorang yang sakit kusta datang kepada Yesus, dan sambil berlutut di hadapan-Nya ia memohon bantuan-Nya, katanya: “Kalau Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku.” Maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan, lalu Ia mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu dan berkata kepadanya: “Aku mau, jadilah engkau tahir.” Seketika itu juga lenyaplah penyakit kusta orang itu, dan ia menjadi tahir. Segera Ia menyuruh orang itu pergi dengan peringatan keras: “Ingatlah, janganlah engkau memberitahukan apa-apa tentang hal ini kepada siapa pun, tetapi pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam dan persembahkanlah untuk pentahiranmu persembahan, yang diperintahkan oleh Musa, sebagai bukti bagi mereka.” Tetapi orang itu pergi memberitakan peristiwa itu dan menyebarkannya kemana-mana, sehingga Yesus tidak dapat lagi terang-terangan masuk ke dalam kota. Ia tinggal di luar di tempat-tempat yang sepi; namun orang terus juga datang kepada-Nya dari segala penjuru.

***

Karya Yesus di Kapernaum boleh dibilang berhasil, tetapi sikap masyarakat setempat yang lebih tertarik kepada mukjizat-Nya, bukan pewartaan-Nya, membuat Yesus waspada. Selanjutnya Ia tampak berhati-hati untuk membuat mukjizat. Kisah perjumpaan dengan orang kusta menunjukkan hal itu.

Ketika itu, seorang berpenyakit kusta nekat mendatangi Yesus, berharap mendapat kesembuhan. Di hadapan-Nya, ia memohon, “Kalau Engkau mau, Engkau dapat menyembuhkan aku.” Orang itu datang kepada Yesus dengan keyakinan bahwa Yesus pasti mampu menyembuhkan dia. Masalahnya tinggal apakah Yesus mau atau tidak. Mengapa Yesus bisa jadi tidak mau menyembuhkannya? Itu karena, belajar dari pengalaman di Kapernaum, Yesus tampaknya sedapat mungkin menghindari membuat mukjizat agar orang tidak salah persepsi.

Mukjizat memang bukan inti iman Kristen. Kita beriman kepada-Nya bukan demi suatu mukjizat. Yang justru harus selalu kita ingat, sebagai murid Kristus, kita mengemban tugas untuk mewartakan hadirnya Kerajaan Allah. Tugas itu melekat dalam diri kita dalam keadaan sehat ataupun sakit.

Orang kusta itu akhirnya disembuhkan Yesus. Misalnya kita tidak mengalami kesembuhan serupa itu, jangan kecewa. Siapa tahu sakit yang kita derita justru merupakan sarana bagi kita untuk memuliakan Allah Bapa di surga.