Permohonan Angelo

Jumat, 18 Mei 2018 – Hari Biasa Pekan VII Paskah

153

Yohanes 21:15-19

Sesudah sarapan Yesus berkata kepada Simon Petrus: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini?” Jawab Petrus kepada-Nya: “Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Kata Yesus kepadanya: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.” Kata Yesus pula kepadanya untuk kedua kalinya: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?” Jawab Petrus kepada-Nya: “Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Kata Yesus kepadanya: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.” Kata Yesus kepadanya untuk ketiga kalinya: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?” Maka sedih hati Petrus karena Yesus berkata untuk ketiga kalinya: “Apakah engkau mengasihi Aku?” Dan ia berkata kepada-Nya: “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Kata Yesus kepadanya: “Gembalakanlah domba-domba-Ku. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki.” Dan hal ini dikatakan-Nya untuk menyatakan bagaimana Petrus akan mati dan memuliakan Allah. Sesudah mengatakan demikian Ia berkata kepada Petrus: “Ikutlah Aku.”

***

Angelo Giuseppe Roncalli yang kemudian menjadi Paus Yohanes XXIII ialah seorang anak petani sederhana. Pada tahun 1898, ketika Angelo belajar di Seminari Bergamo saat usianya menginjak 17 tahun, keluarganya dilanda kesulitan ekonomi. Sebagai buruh tani, keluarga Roncalli bekerja menggarap lahan milik seorang tuan tanah. Nafkah yang diperoleh dari bertani tampaknya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga besar mereka.

Persoalan ini mau tidak mau menyita perhatian Angelo. Dalam batin Angelo, perkara menjadi semakin kompleks ketika sebagai seorang seminaris, ia mengunjungi keluarganya di Sotto il Monte pada saat liburan. Ia sungguh merasakan kekurangan yang dialami keluarganya, terutama dalam hal makanan. Namun, justru dalam perkara makanan, ibunya memberi perhatian khusus kepadanya. Ini menimbulkan kesan bahwa Angelo meminta perlakuan istimewa karena ia seorang seminaris. Anggota keluarga yang lain menjadi cemburu melihatnya.

Setelah tiba kembali di seminari, Angelo ditegur pembesarnya. Pembesar menerima laporan bahwa Angelo bersikap arogan selama liburan. Angelo menerima teguran itu. Ia memohon kerendahan hati untuk belajar dari pengalaman tersebut, walaupun menurutnya ia tidak sepenuhnya bersalah.

Sebulan kemudian, liburan panjang tiba. Angelo mengunjungi keluarganya lagi. Pengalaman liburan sebelumnya masih membekas kuat dalam benaknya, juga teguran dari pembesarnya. Karena itu, pergulatan berkecamuk dalam batinnya:

“Sudah tiga hari liburan ini kujalani. Aku merasa lelah … Aku hanya mencoba untuk melakukan yang benar, untuk mencintai dengan tulus bahkan kepada mereka yang tampaknya tidak memiliki banyak rasa sayang untukku dan mungkin berpikir bahwa aku kurang berarti. Kadang kala aku berpikir bahwa bahkan orang yang telah memperhatikanku, yang kepadanya aku mempercayakan semua, sekarang melihatku dengan curiga. Ah, betapa sedihnya perasaan ini! Mungkin aku hanya mereka-reka. Kuharap begitu, dan ingin kupastikan bahwa memang begitu. Namun, sebenarnya aku sungguh menderita. Aku menderita ketika kupikir aku akan bersukacita.

Kerendahan hati dan cinta: itulah dua keutamaan yang ingin kuusahakan selama liburan ini. Tidak ada keraguan bahwa jika ada kerendahan hati di pihakku, yang telah terjadi tidak akan pernah terjadi. Semakin jauh aku maju, aku semakin yakin akan perlunya kerendahan hati. Hanya kerendahan hati yang akan menerangi penderitaanku yang memilukan ini, yang sebenarnya tidak sepilu penderitaan yang dialami Yesus Kristus, Maria, dan orang-orang kudus yang tak terbilang banyaknya. Aku juga membutuhkan cinta untuk menyinari kesalehan-kesalehan yang kubuat.

Karena itu, aku akan pergi ke sekolah Yesus. Di sana aku akan belajar untuk selalu rendah hati dan penuh kasih. Semoga Tuhan dan Sang Perawan yang paling suci membantuku dan membuatku layak untuk mendengarkan pelajaran ilahi dan belajar dari mereka.”

Kemiskinan dan kerendahan hati merupakan nilai yang ditawarkan Yesus. Nilai ini berseberangan dengan jerat bujuk rayu dunia yang menawarkan kekayaan, kehormatan, dan keangkuhan.

Sebagai seminaris muda, Angelo Roncalli telah mulai melatih diri dalam laku rendah hati. Ia telah dipikat oleh hidup Yesus. Pengalaman hidup hariannya adalah pergulatan untuk menjadi pribadi yang rendah hati, pribadi yang bisa berdamai dengan realitas penghinaan, kesengsaraan, kesedihan, dan penolakan. Dalam pergulatan itu, ia menemukan ajakan untuk membangun keakraban dengan Yesus.

Karena itu, bisa dipahami bahwa permohonan Angelo akan rahmat kerendahan hati tidak lain merupakan hasratnya untuk semakin mengenal dan mengikuti Yesus dalam karya-karya-Nya. Dalam memohon kerendahan hati, Angelo – dan juga kita – dapat mendengar suara-Nya, “Gembalakanlah domba-domba-Ku! Gembalakanlah mereka yang menjadi bagian dalam tanggung jawab hidupmu!”