Kekerasan dalam Alkitab (5)

211

Tanggapan terhadap kekerasan dari dalam umat Tuhan sendiri

Israel yang begitu mendalam terlibat dalam kekerasan tidak akan dapat bertahan kalau tidak juga mengembangkan cara-cara untuk mengatasi kekerasan yang cenderung memuncak dalam spiral balas-membalas. Salah satu sarana adalah ibadat kurban yang tampak dalam semua masyarakat kuno.[1] Kurban hewan (atau manusia) dibebani dengan semua kebengisan dan kekejian masyarakat, lalu dibunuh sebagai tindakan pembersihan dari segala kejahatan itu, sebagai acara pemulihan kedamaian. Jelas juga bahwa di Israel sendiri sudah timbul keraguan terhadap cara ini. Nabi-nabi menyuarakan perasaan Tuhan: “Aku sudah jemu akan kurban-kurban bakaran berupa domba jantan dan akan lemak dari anak lembu gemukan; darah lembu jantan dan domba-domba dan kambing jantan tidak Kusukai … sebab tanganmu penuh dengan darah” (Yes. 1:11, 15).

Usaha alternatif untuk mengatasi lingkaran kekerasan adalah desakan nabi-nabi sebelum pembuangan untuk kembali kepada Taurat (baca: keadilan) demi mencapai kedamaian. “Sungguh, apabila kamu mempersembahkan kepada-Ku kurban-kurban bakaran dan kurban-kurban sajianmu, Aku tidak suka … Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir” (Am. 5:22, 24). Allah yang diimani sebagai pengasih dan penyayang secara kategoris telah melarang Israel untuk membunuh secara sewenang-wenang atau melakukan kekerasan sosial dan ekonomi (Kel. 20:13-17). Tuhan mencela kekerasan yang paling banyak dilakukan justru oleh Israel dan Yehuda sendiri (Am. 1 – 2). Khususnya kekejaman terhadap orang miskin yang tak berdaya, kekejaman ini merupakan penghinaan terhadap Allah yang menjadi pelindung kaum papa: “Beginilah firman TUHAN: Karena tiga perbuatan jahat Israel, bahkan empat, Aku tidak akan menarik kembali keputusan-Ku: Oleh karena mereka menjual orang benar karena uang dan orang miskin karena sepasang kasut” (Am. 2:6). Melalui Nabi Hosea, Allah mengkritik kepercayaan Israel kepada kereta perang mereka, kepada banyaknya pahlawan-pahlawan mereka (Hos. 10:13-14), sebagai kefasikan yang justru akan menghasilkan peperangan dan kebinasaan. Peringatan Tuhan tidak dihiraukan, sehingga kebinasaan itu akhirnya menimpa Israel dan Yehuda dalam dua peristiwa pembuangan.

Justru dalam kehancuran masa pembuangan itu timbullah suatu harapan baru, yakni Allah sendiri –  tanpa bantuan senjata Israel –  akan mengusahakan suatu kerajaan damai. Pada waktu itu, semua bangsa –  termasuk Israel – akan mencari petunjuk Tuhan di Sion dan Ia akan menjadi “wasit” mereka. Lalu mereka semua akan menempa pedang-pedang mereka menjadi mata bajak dan tombak-tombak mereka menjadi pisau pemangkas (Yes. 2:4; Mi. 4:3). Roh Tuhan akan turun atas seorang Daud yang baru, yang akan menegakkan keadilan, sehingga segala kekerasan akan berhenti: “Serigala akan tinggal bersama domba, macan tutul berbaring di samping kambing. Anak sapi akan merumput bersama anak singa…” (Yes. 11:6-9).[2] Bagi nabi-nabi, keadaan baru atau zaman mesianik itu bukan suatu utopia di seberang sejarah, tetapi suatu dunia tanpa kekerasan yang akan diwujudkan di bumi ini.

Diwujudkan dengan cara mana? Deutero-Yesaya, sadar bahwa kekerasan akan mengawali zaman baru, berpegang pada keyakinan bahwa kedatangan zaman baru tidak mengandaikan penghancuran orang jahat terlebih dahulu. Segala kekerasan mereka akan ditanggung oleh kaum lemah yang tersingkirkan (Hamba Tuhan, seperti kurban penyilih), sambil menantikan zaman baru yang dari Allah itu. Tidak demikian kaum Makabe yang beberapa abad kemudian mengangkat kembali senjata untuk meniadakan yang jahat. Mereka yakin bahwa kerajaan mesianik tak mungkin datang tanpa kekerasan. Perjanjian pertama buntu menemukan jalan keluar dari masalah kekerasan.

(Bersambung)

[1] Villar, 1982:205. Kurban, kambing hitam, sebagai sarana mengolah kekerasan dalam suatu masyarakat merupakan pokok sentral dalam teori Réné Girard yang tidak saya baca langsung, tetapi sedikit saya kenal dari karangan orang lain, seperti misalnya Robert North, “Violence in the Bible: The Girard Connection,” CBQ (1985):1-27; Gil Bailie, Violence Unveiled: Humanity at the Crossroads, New York: Crossroad.

[2] Yeremia dan Yehezkiel melihat keadaan baru (perjanjian baru itu) sebagai hasil karya Tuhan melalui hati masing-masing orang: “Kamu akan Kuberikan hati yang baru, dan roh yang baru di dalam batinmu dan Aku akan menjauhkan dari tubuhmu hati yang keras dan Kuberikan kepadamu hati yang taat” (Yeh. 36:26); “Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya dalam hati mereka; maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku” (Yer. 31:33).