Melihat

Minggu, 28 Oktober 2018 – Hari Minggu Biasa XXX

167

Markus 10:46-52

Lalu tibalah Yesus dan murid-murid-Nya di Yerikho. Dan ketika Yesus keluar dari Yerikho, bersama-sama dengan murid-murid-Nya dan orang banyak yang berbondong-bondong, ada seorang pengemis yang buta, bernama Bartimeus, anak Timeus, duduk di pinggir jalan. Ketika didengarnya, bahwa itu adalah Yesus orang Nazaret, mulailah ia berseru: “Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!” Banyak orang menegornya supaya ia diam. Namun semakin keras ia berseru: “Anak Daud, kasihanilah aku!” Lalu Yesus berhenti dan berkata: “Panggillah dia!” Mereka memanggil orang buta itu dan berkata kepadanya: “Kuatkan hatimu, berdirilah, Ia memanggil engkau.” Lalu ia menanggalkan jubahnya, ia segera berdiri dan pergi mendapatkan Yesus. Tanya Yesus kepadanya: “Apa yang kaukehendaki supaya Aku perbuat bagimu?” Jawab orang buta itu: “Rabuni, supaya aku dapat melihat!” Lalu kata Yesus kepadanya: “Pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau!” Pada saat itu juga melihatlah ia, lalu ia mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya.

***

Bagi kita yang diberi anugerah penglihatan normal oleh Tuhan, melihat rasanya bukanlah hal istimewa. Adalah hal biasa bahwa kita bisa membuka mata dan menyaksikan segala sesuatu di sekitar kita dengan terang benderang. Melihat seolah-olah menjadi hak kita. Kita menyadarinya sebagai sesuatu yang otomatis, tanpa ada rasa syukur sedikit pun.

Bacaan Injil hari berkisah tentang Bartimeus, orang buta yang disembuhkan Yesus. Bacaan ini mengingatkan saya pada pengalaman bersama komunitas anak-anak buta di Filipina. Saya mendapat kesempatan untuk merayakan Ekaristi satu bulan sekali bersama mereka. Setiap kali pulang dari misa, saya merasa mendapat kekuatan yang luar biasa untuk mensyukuri hidup saya, dan melihat segala sesuatu sebagai anugerah Tuhan.

Anak-anak itu tidak dapat melihat sejak kecil. Oleh suster pendamping, mereka diajari membaca huruf braille dan didampingi agar bisa mandiri mengerjakan tugas sehari-hari. Mereka merayakan Ekaristi dengan amat sangat antusias. Sambil membawa berbagai alat musik, mereka menyanyi dan menyerukan seluruh jawaban umat dengan lantang. Perayaan Ekaristi rasanya jadi jebih hidup dan lebih meriah!

Saya merenung. Saya tidak membawa kesembuhan seperti yang dilakukan Yesus kepada Bartimeus. Namun, bersama dengan mereka, saya justru seperti Bartimeus yang disembuhkan oleh Yesus. Hal ini terjadi berkat kehadiran dan kesaksian hidup anak-anak itu. Mereka tidak bisa melihat apa pun sejak kecil, tetapi mereka mampu menyadari dan mensyukuri apa pun yang ada di sekitar mereka sebagai anugerah Tuhan.

Mereka tidak membeda-bedakan antara yang cantik dan yang jelek; yang putih dan yang hitam; yang keriting dan yang berambut lurus. Sebagaimana Allah memandang setiap manusia berharga, dengan “mata Allah,” anak-anak itu menerima orang lain sebagai sesama dan saudara. Keceriaan mereka, kegembiraan mereka, apresiasi dan rasa syukur mereka terhadap kehidupan ini membuka mata saya untuk selalu melihat anugerah Tuhan dalam segala sesuatu.

Saudara-saudari sekalian, tetaplah mampu melihat anugerah Tuhan di tengah perjuangan yang rasanya tak kunjung habis. Tetaplah mampu melihat Tuhan di tengah keputusasaan dan harapan yang sirna. Teman-teman kecil saya itu mengajarkan kita semua untuk bersyukur. Bersyukur bukan hanya karena kita mempunyai mata yang dapat melihat, tetapi juga karena kita mempunyai hati yang mampu memandang Allah dalam setiap peristiwa kehidupan ini.