Konsekuensi Perintah Utama

Minggu, 4 November 2018 – Hari Minggu Biasa XXXI

225

Markus 12:28b-34

Lalu seorang ahli Taurat datang kepada-Nya dan bertanya: “Hukum manakah yang paling utama?” Jawab Yesus: “Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini.” Lalu kata ahli Taurat itu kepada Yesus: “Tepat sekali, Guru, benar kata-Mu itu, bahwa Dia esa, dan bahwa tidak ada yang lain kecuali Dia. Memang mengasihi Dia dengan segenap hati dan dengan segenap pengertian dan dengan segenap kekuatan, dan juga mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri adalah jauh lebih utama dari pada semua kurban bakaran dan kurban sembelihan.” Yesus melihat, bagaimana bijaksananya jawab orang itu, dan Ia berkata kepadanya: “Engkau tidak jauh dari Kerajaan Allah!” Dan seorang pun tidak berani lagi menanyakan sesuatu kepada Yesus.

***

Berbeda dengan para pemimpin agama yang lain, pastor dalam Gereja Katolik umumnya tidak hafal ayat-ayat Kitab Suci, tidak sakti ataupun penuh kuasa untuk membuat mukjizat, juga kurang mati raga dalam hal makanan. Tidak sedikit yang bahkan menjadi pasien tetap dokter dan rumah sakit! Salah satu penyebabnya adalah karena perintah utama Tuhan itu bukan soal menghafal Kitab Suci, tekun berpuasa dan matiraga, atau memiliki kemampuan supranatural, melainkan agar manusia mengasihi Tuhan dan sesama.

Justru karena mau mewujudkan perintah kasih kepada sesama itulah para pastor lalu mencicipi – sedikit atau banyak – makanan yang dikirimkan umat. Sementara itu, semangat pelayanan yang tinggi kadang membuat mereka abai untuk menjaga kesehatan. Tentu saja ini sekadar dugaan dan refleksi kecil saya yang tidak bisa digeneralisasikan begitu saja. Namun, yang pasti, perintah kasih akan Tuhan dan sesama merupakan perintah utama dalam kekristenan.

Menurut orang Yahudi, perintah Tuhan jumlahnya sangat banyak. Mereka dengan detail merincinya sampai menjadi 248 perintah dan 365 larangan, sehingga total berjumlah 613. Karena perintah dan larangan ada begitu banyak, pertanyaan ahli Taurat dalam Injil hari ini menjadi penting: perintah manakah yang terutama dalam Taurat?

Menjawab pertanyaan itu, Yesus pertama-tama merujuk pada shema Israel, yakni pengakuan iman orang Yahudi akan keesaan Tuhan (Ul. 6:4). Mereka senantiasa mengucapkannya sehari dua kali, dalam doa pagi dan petang.  Sementara itu, perintah kedua untuk mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri berasal dari Im. 19:18b. Sebuah perintah ibarat dua sisi mata uang: ia sangat mudah diingat dan dihafal, tetapi tidak selalu gampang untuk dilaksanakan.

Perintah mengasihi Tuhan dengan segenap hati dan segenap kekuatan menuntut kita menyediakan waktu untuk menghadap Tuhan. Bukankah di tengah segala rutinitas, kesibukan, dan aneka tuntutan pekerjaan, kita sering menganggap doa sebagai hal yang buang-buang waktu? Ini aneh, sebab untuk berkumpul dengan teman-teman atau menjelajah internet, kita selalu punya waktu. Dengan mendekatkan diri kepada Tuhan, kita diajak untuk mendengarkan kehendak-Nya dan berusaha melakukannya. Tidak jarang kita ingin memaksakan kehendak kita sendiri daripada berusaha mengindahkan dan menuruti kehendak Tuhan. Ungkapan cinta kepada Tuhan dengan segenap hati dan kekuatan juga dinyatakan dengan persembahan diri dan waktu kita kepada Tuhan.

Mengasihi sesama berarti menginginkan yang terbaik bagi orang lain dan sedapat mungkin membantu mewujudkannya. Hal ini perlu kita mulai dari orang-orang terdekat kita, di mana kita memiliki tanggung jawab dan berelasi dengan mereka secara intensif (bdk. 1Tim. 5:8), kemudian meluas kepada mereka yang paling membutuhkan bantuan, bahkan menjangkau mereka yang memusuhi kita (Luk. 6).

Namun, bukankah dalam realitas, terkadang kita justru lebih memikirkan kepentingan sendiri? Bukankah sikap, kata-kata, dan tindakan kita terkadang justru melukai dan merugikan orang lain? Menurut Santo Paulus, tanpa sikap kasih kepada sesama, aneka pengorbanan, pelayanan, kemampuan, dan prestasi kita menjadi kurang bermakna bagi orang lain (1Kor. 13). Usaha mencintai sesama seperti diri sendiri menuntut kita untuk berani berkorban bagi sesama dan keluar dari kepentingan diri sendiri.

Semoga Tuhan memampukan kita untuk senantiasa mewujudkan kedua perintah utama ini dalam hidup kita sehari-hari.