Menanggapi Undangan

Selasa, 6 November 2018 – Hari Biasa Pekan XXXI

191

Lukas 14:15-24

Mendengar itu berkatalah seorang dari tamu-tamu itu kepada Yesus: “Berbahagialah orang yang akan dijamu dalam Kerajaan Allah.” Tetapi Yesus berkata kepadanya: “Ada seorang mengadakan perjamuan besar dan ia mengundang banyak orang. Menjelang perjamuan itu dimulai, ia menyuruh hambanya mengatakan kepada para undangan: Marilah, sebab segala sesuatu sudah siap. Tetapi mereka bersama-sama meminta maaf. Yang pertama berkata kepadanya: Aku telah membeli ladang dan aku harus pergi melihatnya; aku minta dimaafkan. Yang lain berkata: Aku telah membeli lima pasang lembu kebiri dan aku harus pergi mencobanya; aku minta dimaafkan. Yang lain lagi berkata: Aku baru kawin dan karena itu aku tidak dapat datang. Maka kembalilah hamba itu dan menyampaikan semuanya itu kepada tuannya. Lalu murkalah tuan rumah itu dan berkata kepada hambanya: Pergilah dengan segera ke segala jalan dan lorong kota dan bawalah ke mari orang-orang miskin dan orang-orang cacat dan orang-orang buta dan orang-orang lumpuh. Kemudian hamba itu melaporkan: Tuan, apa yang tuan perintahkan itu sudah dilaksanakan, tetapi sekalipun demikian masih ada tempat. Lalu kata tuan itu kepada hambanya: Pergilah ke semua jalan dan lintasan dan paksalah orang-orang, yang ada di situ, masuk, karena rumahku harus penuh. Sebab Aku berkata kepadamu: Tidak ada seorang pun dari orang-orang yang telah diundang itu akan menikmati jamuan-Ku.”

***

Tidak semua orang Katolik mudah menanggapi undangan untuk hadir dalam perjamuan Tuhan setiap hari Minggu, apalagi bila di parokinya hanya ada satu kali perayaan Ekaristi. Orang yang tidak bisa – atau tidak mau – mengikuti perayaan Ekaristi bisa mengemukakan banyak dalih. Misalnya saja karena waktunya berbenturan dengan kegiatan penting, urusan pekerjaan, rekreasi keluarga, atau hal-hal lain.

Hari ini kita mendengarkan perumpamaan tentang orang-orang yang diundang ke perjamuan kawin. Bacaan ini berhubungan dengan bacaan kemarin tentang penegasan Yesus bahwa yang mengundang kaum tersisih kelak akan mendapat ganjaran dari Tuhan sendiri. Mendengar itu seorang tamu yang mendengarkan pengajaran Yesus berseru, “Berbahagialah orang yang akan dijamu dalam Kerajaan Allah.” Orang itu berpikir seakan-akan dialah salah satu orang yang kelak dijamu oleh Allah. Karena itu, Yesus lalu menyampaikan perumpamaan tentang perjamuan kawin untuk membuat orang tersebut berpikir ulang akan keyakinannya itu.

Dikisahkan bahwa kendati undangan sudah lama disebar dan perjamuan besar sudah disiapkan, ternyata para tamu belum juga muncul. Ketika diundang lagi, mereka mendadak memberi tahu kalau tidak bisa datang dengan pelbagai dalih. Namanya juga dalih, alasan yang mereka kemukakan sangat jelas hanya dicari-cari. Mendengar itu semua, si tuan rumah menjadi marah. Pesta telah siap, tetapi para tamu tidak mau datang. Ia lalu menyuruh para hambanya untuk pergi ke jalan dan mengundang kaum yang terpinggirkan, yakni orang-orang miskin, buta, lumpuh, dan cacat, ke dalam perjamuan ini. Mereka yang tidak masuk dalam daftar undangan dan kerap dipandang sebelah mata akhirnya yang justru menanggapi dan menikmati perjamuan tersebut. Karena tempat masih tersedia, si tuan rumah menyuruh para hambanya lagi untuk pergi ke luar kota guna mengundang orang-orang di sana untuk ikut serta dalam perjamuan itu.

Yang dimaksud para tamu undangan tentulah orang Yahudi. Mereka mendapatkan undangan keselamatan Tuhan yang diwartakan lewat para nabi. Namun, mereka justru menolaknya dengan pelbagai dalih. Karena itu, orang-orang yang selama ini dipandang sebelah mata dan dikucilkan dalam pergaulan maupun ritual ibadah justru yang menikmati keselamatan itu. Begitu juga dengan orang-orang bukan Yahudi. Mereka inilah yang dimaksud orang-orang dari luar kota yang akhirnya boleh hadir dalam perjamuan kawin itu.

Perayaan Ekaristi merupakan kesempatan bagi kita untuk mencicipi perjamuan surgawi, dan kita semua sekarang sudah masuk dalam daftar undangan untuk menghadirinya. Masalahnya, apakah kita antusias menanggapi dan menikmati undangan tersebut? Atau, apakah kita menghadirinya sekadar sebagai rutinitas, tanpa gairah dan semangat? Apakah kita dengan gampangnya menemukan dalih untuk mengabaikan undangan perjamuan Tuhan?