Ibadah Harus Sejalan dengan Kehidupan

Jumat, 28 Februari 2020 – Hari Jumat Sesudah Rabu Abu

310

Yesaya 58:1-9a

Serukanlah kuat-kuat, janganlah tahan-tahan! Nyaringkanlah suaramu bagaikan sangkakala, beritahukanlah kepada umat-Ku pelanggaran mereka dan kepada kaum keturunan Yakub dosa mereka! Memang setiap hari mereka mencari Aku dan suka untuk mengenal segala jalan-Ku. Seperti bangsa yang melakukan yang benar dan yang tidak meninggalkan hukum Allahnya mereka menanyakan Aku tentang hukum-hukum yang benar, mereka suka mendekat menghadap Allah, tanyanya: “Mengapa kami berpuasa dan Engkau tidak memperhatikannya juga? Mengapa kami merendahkan diri dan Engkau tidak mengindahkannya juga?” Sesungguhnya, pada hari puasamu engkau masih tetap mengurus urusanmu, dan kamu mendesak-desak semua buruhmu. Sesungguhnya, kamu berpuasa sambil berbantah dan berkelahi serta memukul dengan tinju dengan tidak semena-mena. Dengan caramu berpuasa seperti sekarang ini suaramu tidak akan didengar di tempat tinggi. Sungguh-sungguh inikah berpuasa yang Kukehendaki, dan mengadakan hari merendahkan diri, jika engkau menundukkan kepala seperti gelagah dan membentangkan kain karung dan abu sebagai lapik tidur? Sungguh-sungguh itukah yang kausebutkan berpuasa, mengadakan hari yang berkenan pada TUHAN? Bukan! Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri! Pada waktu itulah terangmu akan merekah seperti fajar dan lukamu akan pulih dengan segera; kebenaran menjadi barisan depanmu dan kemuliaan TUHAN barisan belakangmu. Pada waktu itulah engkau akan memanggil dan TUHAN akan menjawab, engkau akan berteriak minta tolong dan Ia akan berkata: Ini Aku!

***

Praktik sinkretisme (mencampuradukkan ibadah kepada Allah dengan ibadah kepada dewa-dewi asing) marak di Israel dan inilah yang menjadi latar belakang pewartaan Nabi Yesaya. Masyarakat tidak menyadari bahwa dewa-dewi bangsa-bangsa asing hanyalah alter ego dari diri manusia. Mereka bukan Allah dan tidak memiliki sifat-sifat seperti Allah. Lihat saja, dalam mitos-mitos Timur Tengah kuno, mereka digambarkan penuh kemarahan, nafsu, dendam, dan dengki, tidak berbeda dengan manusia pada umumnya. Selain itu, perhatikan pula bahwa mereka bisa disogok oleh manusia dengan aneka macam persembahan dan hal-hal yang duniawi.

Karena sinkretisme, ibadah-ibadah di Israel saat itu penuh dengan kepalsuan. Ibadah memang berlangsung dengan meriah. Umat dengan penuh semangat menyajikan banyak kurban dan persembahan-persembahan yang terbaik. Namun, itu semua sayangnya dimaksudkan untuk menutupi ketimpangan dan kebobrokan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Mereka pikir Allah bisa disogok dengan daging kurban dan rupa-rupa persembahan. Yang terjadi, Allah malah merasa jijik melihatnya. Ia menolak semua persembahan mereka.

Karena itu, Yesaya menegaskan bahwa pertobatan sejati dan hidup beriman yang benar baru terwujud kalau ibadah umat sejalan dengan kualitas hidup mereka. Keadilan tidak boleh dinodai, praktik-praktik kecurangan harus dibuang jauh. Tidak boleh lagi ada segelintir orang yang hidup berlimpah ruah sementara di sekitarnya banyak orang yang hidupnya berkekurangan.